Reporter: Luhur Pambudi I Editor: Ndaru Wijayanto
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam kemanusiaan di muka bumi. Dalam beberapa kasuistik kejahatan terorisme yang diusut oleh aparat, kejahatan jenis ini dilakukan secara berkelompok.
Mereka tersebar di berbagai daerah, dengan metode komunikasi secara berjejaring. Terkadang kelompok yang telah masuk dalam pengejaran aparat memanfaatkan simbolisasi yang merujuk pada suatu agama tertentu.
Itulah mengapa, Direktur Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT-RI), Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid menyebut, kelompok teroris tak ubahnya jenis lain kelompok gerakan politik.
Artinya, memiliki orientasi dalam menghimpun banyak orang demi suatu bentuk kepentingan politis tertentu; menggulingkan dominasi suatu status quo, dengan mengatasnamakan agama.
Demi mencapai kepentingan yang bersifat politis tersebut. Kelompok teroris tak segan memanipulasi produk hukum sebuah ajaran agama tertentu, demi melegitimasi gerakan atau aksinya.
Sehingga acap kali didapati adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris dengan kedok agama. Yang tentunya berdampak pada rusaknya kedamaian dan keharmonisan hubungan antar agama di suatu wilayah tertentu.
Sebenarnya, bagaimana akar kekerasan itu bisa bercokol dan tumbuh dari cara beragama orang yang tergabung dalam kelompok tersebut. Hingga menginspirasinya dalam melakukan aksi terorisme.
TribunJatim.com berkesempatan mewawancarai Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid Direktur Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT-RI, secara virtual melalui aplikasi Zoom, Minggu (14/3/2021). Berikut petikan wawancaranya;
#Bagaimana radikalisme terbentuk?
Kita samakan persepsi dulu. Bahwa semua teroris itu pasti berpaham radikal. Tapi tidak semua paham radikal, otomatis menjadi teroris. Tetapi paham radikal atau radikalisme inilah yang menjiwai atau memotivasi aksi terorisme.
Eksklusifitas, intoleransi, biasanya oleh para pengamat, oleh para surveyor itu sebagai levelling. Urutannya eksklusif, intoleran, radikal, terus teroris.
Tetapi sejatinya intoleransi itu adalah watak dasar radikalisme ataupun terorisme. Adapun eksklusifitas itu menjadi watak dasar juga. Tetapi hanya-hanya biasanya eksklusif, tapi tidak selalu eksklusif. Jadi misalnya kayak tadi dia menyamar atau taqiyah menyembunyikan diri dengan modus mengikuti mengikuti kegiatan geng atau motor.
Itu bisa jadi juga seperti yang kita peristiwa bom Surabaya yang satu keluarga. Itu kan juga bukan eksklusif. Dia inklusif dia juga faktor ekonomi tidak selalu memicu radikalisme, tidak selalu. Karena mereka juga orang kaya juga kan, bukan orang miskin gitu. Jadi menurut saya sih itu memang Taqiyah, mereka sekali lagi pandai Kamuflase dengan modus ikut dalam kelompok motor, ikut dalam organisasi dakwah.
Termasuk misalnya kayak, Front Pembela Islam (FPI). FPI itu kan sebenarnya kayak pam swakarsa kan dulunya. Tetapi kan kepengurusannya ada infiltrasi dari ideologi ideologi ini sehingga kan sekarang berkembang seperti itu dan dilarang oleh negara atau pemerintah oleh undang-undang.
Juga misalnya kayak saudara-saudara kita di Jamaah Tabligh (JT). JT itu kan moderat. Dia hanya bagaimana dia iktikaf di masjid, yang mirip-mirip tariqah kan sebenarnya.
Tetapi ketika oknum-oknumnya kemudian terafiliasi atau mungkin terinfiltrasi dengan ideologi, radikal tadi, otomatis oknum-oknumnya juga terkontaminasi dan terafiliasi ke jaringan.
Tapi secara organisasi tidak. Karena memang organisasi itu moderat, gitu loh. Tapi oknum-oknumnya. Sehingga memang mereka itu bersembunyi. Di dalam dakwah di dalam rekrutmen ataupun penyebaran pahamnya itu bersembunyi di beberapa kelompok. Termasuk tadi di organisasi bermotor.
Dan jangan lupa ada geng motor itu. Geng motor itu yang sering kita dengar di televisi ataupun di media itu kan juga melakukan aksi, ya kan? Dia juga sering menteror, dia juga dengan kekerasan, dia juga dengan senjata tajam (sajam), bahkan juga dengan kadar molotov.
Nah, sebenarnya kan geng motor premanisme itu kan juga teror juga. Tentu motivasinya berbeda. Ini yang sering disebut ekstrimis individual. Tetapi unsur-unsur terorismenya ada, tetapi digunakan dengan undang-undang yang bersifat leg spesialis dalam hal ini oleh KUHP, kan gitu.
Juga ada misalnya narkotika, terorisme yang dimotivasi atau dilatarbelakangi persaingan bisnis narkoba. Dia juga pakai bom. Dia juga pakai senjata.
Dia juga membunuh menculik, tapi motivasinya berbeda. Bisa jadi juga nanti akan sembunyi ke sana juga. Juga terorisme dengan motif ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau sering disebut separatis. Kayak Organisasi Papua Merdeka (OPM), dulu ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Nah, yang kita bahas ini kan terorisme motif agama. Ya, dia ingin merebut gerakan politik yang ingin merebut kekuasaan mengganti ideologi negara dengan sistim negara dengan ideologi yang mereka usung yang mereka pahami yaitu khilafah.
Ya termasuk kayak Hizbut Tahrir. Ya itu kan ingin khilafah juga. Kemudian Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI) dan jaringan-jaringan daerah lain juga ingin khilafah juga. Tapi antara khilafah yang satu dengan yang lain kan berbeda-beda.
#Bagaimana pola radikalisasi terbentuk dalam mentalitas anggota kelompok teror?
Jadi begini radikalisme dan terorisme akar masalahnya itu ideologi. Terutama radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama. Ideologi enggak akan masalahnya. radikalisme dan teror ini oleh UN oleh dunia internasional itu sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, Extra Ordinary Crime, Crime Againt Humanity, kejahatan kemanusiaan.
Kalau pengamat, para ahli hukum sering menyebut serouse crime, kejahatan yang serius. Karena memang menimbulkan korban manusia maupun kerusakan ataupun kehancuran lingkungan hidup, kehancuran, fasilitas publik, dan fasilitas ataupun vital maupun fasilitas internasional dengan motif ideologi politik atau gangguan keamanan.
karena ini kejahatan, maka saya sering menjelaskannya dengan pendekatan ilmu kriminologi. Dalam ilmu kriminologi itu ada niat, ketemu kesempatan, terjadilah kejahatan. Niat plus polis asa, kesempatan, keluhan momen, lingkungan. Maka terjadilah kejahatan.
Dalam menjelaskan tentang fenomena radikalisme dan terorisme itu akan mudah kalau dengan pola-pola pendekatan ilmu kriminologi.
Jadi begini. Setiap manusia itu punya potensi baik, punya potensi jahat. Dan setiap manusia itu juga potensi, punya potensi moderat, tapi juga punya potensi radikal.
Jadi, radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama, ini bukan monopoli satu agama. Tapi ada di setiap agama, di setiap kelompok, di setiap bahkan potensial pada setiap individu manusia.
Enggak melihat profesi, enggak melihat pangkat, jabatan, tidak melihat tingkat intelektualitas seseorang, paham ini bisa menyasar siapa saja.
Ya, cuman memang biasanya kebanyakan itu menyasar pada generasi muda. Nah, kalau generasi muda ini kan kalau para pengamat kan sering membagi, ada yang namanya generasi Z, itu umur 14-19 tahun, generasi milenial umur 20-39 tahun, generasi X umur 40-55 tahun.
Jadi karena ini potensi ada pada setiap manusia. Nah, potensi radikal tadi akan muncul menjadi niat atau motif radikal kalau didorong dipicu oleh beberapa faktor, yang sering disebut faktor korelatif kriminogen.
Salah satunya politisasi agama, kebodohan, pendidikan, kemiskinan, kesejahteraan, ekonomi, Ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, rasa benci dan dendam kepada lain kelompok lain pada negara, sistem hukum dan pemerintahan yang lemah.
Ya, kenapa kok saya katakan sistem hukum dan pemerintahan yang lemah. Karena memang UU kita itu mampu menjerat aksi terorismenya.
Meskipun bisa ditindak sebelum melakukan aksi, tapi kalau sudah masuk dalam jaringan teror dan beberapa kriteria yang tadi saya sebutkan; sudah liqo, sudah baiat, sudah masuk jaringan teror, sudah melakukan latihan perang dan lain sebagainya. Tetapi paham radikalismenya ini belum ada regulasinya.
Kalau dulu kan ada Undang-Undang Anti Supersif ketika orde baru. Nah kalau di Malaysia di Singapura itu ada internal security X, itu yang melarang semua paham ideologi, ya yang bertentangan dengan konstitusi. Kita belum ada itu.
Jadi negara kita baru ada Undang-Undang Nomor 27/1999 yang merupakan breakdown dari TAP MPRS nomor 2/1966 itu melarang tentang in komunisme, marxisme, leninisme.
Sementara ideologi yang lain yang bertentangan dengan Pancasila, belum ada. Misalnya khilafah, daulahisme, atau kekhilafah, atau liberalisme, kapitalisme, dan isme-isme yang lain yang tangan dengan konsensus nasional; Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI.
Sehingga penanganannya harus dilakukan secara soft approach (SA) dan hard approach (HA). SA itu untuk radikalismenya, dar hulunya. Dan HA itulah law enforcement penegakan hukum pada jaringan teror itu.
Nah, kembali ke tadi. Ketika manusia setiap manusia punya potensi radikal dan akan menjadi niat radikal atau motif radikal kalau dipicu oleh faktor korelatif kriminogen tadi, ya. Ekonomi ketidakadilan, kebodohan, politisasi agama, sistem hukum dan pemerintahan yang lemah, ketidakpuasan dan lain sebagainya.
Ketika ketemu dengan lingkungan. Atau sering disebut momen, kesempatan, polis hasad, berupa lingkungan yang radikal, Ustad yang radikal kemudian jaringan terorisme, kemudian logistik adanya support logistik dana dan lain sebagainya.
Kemudian pergaulan dunia medsos, dunia maya yang konten-kontennya radikal, yang mengajarkan paham takfiri, yang mengajarkan paham-paham jihad secara salah menyimpang.
Niat, ketemu kesempatan, terjadilah aksi terorisme.
#Bagaimana upaya penanggulangannya?
Penanggulangannya harus dilakukan secara holistik dari hulunya berupa soft approud, pendekatan yang soft, ya. Karena memang belum ada regulasinya. Untuk radikalismenya. Dan hard approach. sudah memahami unsur tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 5/2018, maka dianggap namanya hak penegakan hukum lain.
(1) Soft approach
Ada tiga cara, menurut Undang-Undang di Indonesia ini, yang pertama dilakukan strategi yang namanya;
Pertama. Strategi kesiapsiagaan nasional
Kesiapsiagaan nasional ini berupa upaya untuk membentengi atau vaksinasi mengimunisasi terhadap mayoritas masyarakat bangsa Indonesia yang belum terpapar. Setiap manusia punya potensi untuk terpapar. Yang belum terpapar ini dibentengi, diberi vaksin, diberi imunisasi tidak terpapar atau imun terhadap ideologi radikal tadi.
Kedua. Strategi kontra radikalisasi
Yang kedua, undang-undang mengamanahkan dengan strategi kontra radikalisasi. Kontra radikalisasi ini isinya berupa kontra narasi, kontra ideologi, kontra propaganda.
Dilakukan moderasi beragama. Terhadap mereka-mereka yang sudah terpapar. Tetapi dalam kader yang rendah dan menengah.
Misalnya dia intoleran. Dia juga ada sebagian yang eksklusif. Dia sudah membidahkan budaya-budaya atau tradisi-tradisi kearifan lokal; kenduri, bidah. Tariqah sesat. Karena memang, jaringan teror konteks Indonesia ini yang namakan Islam, ini biasanya berpaham Salafi, Wahabi. Tapi kan tidak semua Salafi-Wahabi, otomatis menjadi teroris.
Ada Salafi Wahabi dakwah, Salafi Wahabi Takriri yang mengikuti sistem. Salafi Wahabi Jihadis, yang merupakan kombatan atau terorisme. Itu radikalisasi. Sehingga orang-orang yang terpapar, paham rendah dan menengah ini, supaya tidak naik level menjadi terpapar kadar tinggi dan tidak masuk ke dalam jaringan teror, maka dilakukan kontrak radikalisasi.
Ketiga. Strategi Deradikalisasi
deradikalisasi ini upaya pencegahan atau upaya untuk mengurangi kadar radikal seseorang, mengembalikan kadar radikal menjadi moderat. Jadi pencegahan yang ketiga ini sejatinya dilakukan supaya yang sudah terpapar pada level tinggi, supaya tidak melakukan aksi teror. Kalau sudah unsurnya terpenuhi. Itu biasanya kita preventif strike tindakan.
Sebelum melakukan aksi undang-undangnya sudah terpenuhi unsurnya tangkap saja. Termasuk seperti si Fahim cs yang ditangkap di Jawa Timur ini. Dia kan belum melakukan aksi teror kan.
Tapi dia sudah persiapan perang, ngumpulin senjata, ideologinya sudah radikal sudah masuk dalam jaringan teror dia sudah. Dan dia memang menyusun kekuatan, merekrut untuk melakukan tindakan-tindakan perebutan kekuasaan, next kalau mereka diangkat sudah besar atau kuat begitu.
#Mengapa mudah merekrut generasi muda?
Karena generasi muda itu, pertama, emosionalnya masih labil. Masih mencari jati diri, masih mencari eksistensi diri dan biasanya keagamaannya itu muncul militannya itu tinggi. Sehingga ketika tidak diimbangi dengan pemahaman agama yang cukup, itu gampang sekali di radikalisasi oleh kelompok mereka.
Misalnya contoh mereka menanyakan kelompok radikal ini kan selalu membenturkan atau mendikotomi antara negara dan agama, agama dan budaya, agama dengan nasionalis, agama dengan nasionalisme.
Misalnya begini, mana Pancasila dengan Al-Quran, kan gitu. Kemudian bagus mana Pak Jokowi dengan Nabi Muhammad. Bagus mana negara Islam dengan negara atau negara kafir. Sebenarnya sesat itu. Untuk pertanyaan yang menyesatkan itu.
Tapi kalau misalnya, kamu menanyakan ke saya, bagus mana Nabi Muhammad sama Pak Jokowi? Saya mengatakan bagus Nabi Muhammad. Cuma sayangnya Nabi Muhammad tidak ada sekarang. Sudah wafat, kalau ada tak jadikan presiden gitu.
Bagus mana antara Al-Quran dan Pancasila? Bagus semua. Karena semua sila-sila dalam dalam Pancasila. Itu perintah Allah dalam Al-Quran. Mengamalkan Pancasila sejatinya mengamalkan agama. Jadi ya kan enggak bisa dibandingkan.
Bagus mana negara Islam sama negara kafir? Saya bilang, negara Islam itu yang bagaimana? Karena menurut saya negara Indonesia ini sudah syar'i, sudah Islam menjadi islami. karena sudah ada khalifahnya, sudah ada apa namanya, struktur organisasi yang memenuhi unsur-unsur sebagai negara Islam, hanya nomenklaturnya bukan negara Islam.
Jadi memang anak-anak muda itu gampang sekali dihasut. Misalnya gini (baca ayat) dan lain sebagainya. Nah tuh, Allah menjadikan syariah dalam agama. Maka ikutilah syariah itu. Nah, berarti kita kan harus berdasarkan syariat.
Sementara kita kan berdasarkan undang-undang dasar, ini kan bukan syariat. Nah, pemahaman itu kan jadinya? Ya kan untuk mengatakan syariah itu apa saja kan mereka sudah, anak muda kan enggak semuanya tahu. Nah itu akan terpapar.
#Bagaimana kelompok terorisme mendanai kaderisasi dan aksinya?
(1) Patungan antar anggota. Urunan dari mereka. Tidak semua mereka itu orang miskin Banyak juga yang kaya untuk menginfakkan.
(2) Kotak amal. Kotak amal seperti yang di Lampung yang kita ungkap itu. Dan kemungkinan di Jawa Timur juga ini baru kita dalami. Untuk fenomena penggalangan dana melalui kotak amal
(3) Menghimpun dana dengan prinsip Fai. Mereka juga sering melakukan Fai. ada yang rampok, ada yang masuk mungkin di jaringan narkoba, ada yang penting kan mereka ini karena menganggap negara ini negara kafir, negara Thogut, sehingga dia kelompok teroris ini cenderung menghalalkan atas nama agama.
Dianggap misalnya ngerampok itu Fai. Kemudian bagaimana kita mencari Ghanimah harta rampasan? termasuk menipu, dan lain sebagainya.
(4) Support Jaringan Internasional. Untuk fenomena radikalisme itu juga didanai oleh kepentingan politik kotor digerakkan. Tapi kalau untuk terorismenya ini ya bisa jadi juga ada sumber dari beberapa jaringan internasional. Karena kan jaringan terorisme itu kan transnasional.
(5) Mendulang dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan atau pengusaha, menggunakan penyamaran (taqqiyah).
Karena mereka itu kan menyamar ke beberapa ormas keagamaan. Dia mencari sumbangan-sumbangan dana melalui dana-dana CSR perusahaan, termasuk CSR perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mungkin orang-orang kaya yang memang ahli atau rajin sedekah.
Dia kan ndak ngerti, ini siapa, ini siapa, yang penting kan tampilannya kan agamis, iya kan, pakai jubah, pakai koko, apalah, dengan ayat-ayat.
(6) Donatur Internasional. Perlu kita garis bawahi juga donatur internasional. Misalnya kayak wahabi internasional. Mohon maaf, ini untuk saya bicara bicara radikalismenya, karena kan karena kan terorisme ini kan hilirnya, radikalisme itu kan hulunya.
Lah kalau misalnya wahabisasi internasional masih merebak, ada support dana dari internasional, misalnya kayak untuk media, untuk apa yang ini kan juga tetap ini. Meskipun belum jaringan teror ini ya. Tapi kan semua paham itu kan akan menjiwai ke sana.
(7) Penggalangan dana klaim membantu warga timur tengah melalui sarana informasi poster dan baliho di banyak fasilitas publik
Iya, melalui, melalui ACT segala macam itu kan banyak juga yang lari ke sana. Kan tidak semuanya ke pure ke kelompok-kelompok bantuan sosial, atau untuk kemanusiaan. Tapi juga diarahkan di kelompok-kelompok radikal. Ini masih kita dalami terus.
Prinsipnya bahwa kita kan bertindak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Kita itu negara demokrasi, salah satu unsur di dalam negara demokrasi itu supremasi hukum.
Yang kedua, penghormatan hak asasi manusia. Yang ketiga partisipatoris melibatkan partisipasi publik atau masyarakat. Kemudian ada good and clean government.
Kalau kita, supremasi hukum kita parameternya hukum, lah kita bisa menilai si fulan, si fulan, si fulan kelompok ini radikal. Tapi belum ada regulasi yang melarang paham radikal itu bagaimana? Enggak bisa. Ya akhirnya kita soft approach. Melalui radikalisasi atau mereka yang belum terpapar, kita, kita putus logistiknya, kita putus kaderisasinya, kita putus sebaran media jalur propagandanya, dan lain sebagainya.
#Bagaimana anda melihat kelompok terorisme yang mengatasnamakan Agama Islam?
Bukan cenderung keliru ya, itu sudah keliru. Kenapa? Radikalisme dan terorisme agama dalam konteks ini mengatasnamakan Islam. Adalah fitnah bagi Islam.
Kenapa? Karena paham ideologi sikap dan tindakannya bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil alamin. Prinsip Islam yang mewajibkan mengajarkan ke kasih sayang toleransi. Kemudian menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Dan menimbulkan islamofobia terhadap Islam. Kan menjadi fitnah.
Radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara. Musuh agama karena memang ideologi dan tindakannya ini kan bertentangan dengan prinsip agama, memecah belah agama, dan menimbulkan fitnah dalam agama.
Musuh negara, karena sikap tindakannya, ideologi yang di bawahnya, yang diusungnya, bertentangan dengan perjanjian-perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan segenap warga bangsa. Yaitu yang tertuang di dalam konstitusi nasional kita berupa konsensus nasional yaitu bertentangan dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Silahlan kamu mau bicara hal-hal yang sifatnya fiqih dan khilafiah. Apakah khilafah itu bagian dari sejarah Islam, atau ajaran Islam, silakan itu ijtihad. Kalau namanya ijtihad itu bisa menimbulkan kebenaran relatif. Karena masing-masing ulama bisa berbeda interpretasinya.
Tapi semua ulama, semua agama, semua masa mewajibkan setiap umat untuk mentaati perjanjian-perjanjian. Perjanjian yang sudah dikonvensi sudah jelas. Indonesia ini Pancasila.
Jadi apa pun yang melepaskan diri dari ketaatan terhadap perjanjian ataupun melepaskan diri dari ketaatan terhadap pemimpin atau pemerintahan yang sah, meskipun hanya satu jengkal kalau mati, dalam keadaan jahiliah. Ini Sahih Bukhari lho. Karena mereka-mereka sering tanya dalilnya mana.
#Bagaimana proses deradikalisasi terhadap narapidana teroris (Napiter) selama ini?
Deradikalisasi itu adalah proses atau upaya untuk mengembalikan atau kelompok orang menjadi paham radikal menjadi moderat. Minimal mengurangi kadarnya. Tetapi di radikalisasi itu diperuntukkan untuk tersangka napiter, terdakwa terpidana, narapidana dan mantan narapidana tindak pidana terorisme.
Sementara yang terpapar dalam kadar rendah dan menengah misalnya dengan indikasi intoleran; antipemerintahan. Anti bukan berarti oposisi bukan, oposisi boleh mengkritik, boleh, kalau memang pemerintahan dinilai salah, dikritik.
Tetapi mengkritiknya yang konstruktif, bukan destruktif, bukan menyebar hoax, memfitnah, mengadu domba. Silakan tapi oposisi yang konstruktif bukan destruktif karena memang niscaya di dalam negara demokrasi begitu.
Karena memang terorisme dan radikalisme atas nama agama, kemudian gerakan politik sebenarnya ini. politik memanipulasi atau mengatasnamakan agama untuk merebut kekuasaan guna mengganti ideologi negara menjadi ideologi agama. Nah, untuk orang-orang yang terpapar tadi, intoleransi, audit pemerintah ini dilakukan moderasi.
Termasuk mereka-mereka yang misalnya potensial, sudah terpicu ada niat, motif radikal karena disebabkan oleh faktor-faktor korelatif kriminogen. Itu dilakukan misalnya, di daerah miskin sana, itu sudah pahamnya kayak ini.
Nah, itu kita kerja sama dengan Kementerian dan lembaga terkait. Disupport dengan bansos, disupport dengan Kementerian Agama ataupun dihadirkan di sana Ustad-Ustad atau ulama-ulama yang moderat dan lain sebagainya.
Khusus untuk deradikalisasi tadi, jadi memang hanya untuk mereka-mereka yang sudah terpapar dalam kadar tinggi, yaitu tersangka, terpidana, narapidana, terdakwa, dan eks narapidana.
1) Upaya mengembalikan atau minimal mengurangi. Diberikan kegiatan, diberikan diajari itu namanya, keterampilan-keterampilan menjahit, mungkin jadi tukang. Itu kan di lembaga pemasyarakatan, tentu kita kerja sama dengan kementerian lembaga terkait. Dan BNPT itu kan hanya fungsi koordinasi saja.
2) Karena akar masalah radikalisme dan terorisme ini adalah ideologi. Maka tolak ukur seseorang itu benar-benar sudah tercabut atau sudah hilang radikalnya. Kalau ideologinya sudah tergantikan. Jadi kalau dia masih Salafi, Wahabi, jihadis, ideologinya itu masih ekstrim atau berbasis kekerasan, ideologi kekerasan, ya itu hanya terkurangi saja, mungkin kooperatif.
Tapi kalau dia sudah cabut akar ideologi kekerasannya, yaitu Salafiah Jihadisnya. Syukur-syukur kalau dia sudah bertariqah atau bertasawuf, nah, itu salah satu indikator seseorang itu sudah moderat.
#Apa saja indikator orang terpapar paham radikal yang mengarah ke teroris?
Jadi begini, ada tiga Indikator seseorang itu dinyatakan radikal atau teroris.
(1) Manipulasi agama
Memanipulasi agama. Memanipulasi agama, gerakan politik yang memanipulasi agama yang ingin mengganti ideologi dan sistem negara. Antipemerintahan.
Anti bukan oposisi loh ya, kalau oposisi boleh. Tapi anti, kalau anti itu pokoknya semuanya salah; Harus khilafah, harus daulah, harus menegakkan syariah.
(2) Mengkafirkan (takfiri)
Mengkafirkan yang tidak sepaham yang tidak sekelompok atau yang berbeda. Intoleransi, menghalalkan segala cara atas nama agama, antibudaya lokal, kalau ada kenduri, yasinan, tahlilan, maulidan, bidah, (dianggap) sesat.
Meskipun belum terorisme. Tapi sudah embrio. Kenapa sih? Karena kearifan lokal itu mempersatukan agama, mempersatukan umat, gotong-royong silaturahmi. Isinya doa dan silaturahmi dan lain sebagainya.
Bangsa ini bangsa yang heterogen yang terdiri dari ribuan suku bangsa ini sangat rentan untuk diadu domba dan rentan terhadap perpecahan. Sehingga bangsa Arab, satu suku bangsa pecah menjadi beberapa negara. Eropa, satu, suku bangsa pecah menjadi beberapa negara. Indonesia, seribu lebih suku bangsa, seribu lebih bahasa lokal, 17.400 lebih pulau, bahkan ada pulau yang belum dikasih nama itu ada 4 ribu pulau.
Coba cari di dunia mana pun. Enggak ada. Itu disatukan dalam satu wadah namanya NKRI Negara Kesehatan, kenapa? Kita punya Pancasila yang mempersatukan, ideologi mempersatu bangsa. Nah, makanya kalau masih antipancasila, enggak mau hormat bendera, enggak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya.
(penampilan) tidak mutlak itu. Misalnya mohon maaf, itu berjenggot. Ya memang ada aturannya sunnah, boleh. Celananya cingkrangnya boleh-boleh saja mungkin di hati-hati dari najis. Misal, tanda di kening. Itu yang bukan indikasi, bisa jadi karena memang rajin sujud, enggak punya sajadah.
Artinya menyandarkan indikator-indikator yang kabur semacam itu juga semacam enggak bisa ya. Enggak bisa itu, bukan kalau yang tampilan-tampilan. Tapi konten informasi atau narasi yang kerap muncul. Misalnya dengan ideologinya, akhlaknya, perilakunya, nilai-nilai kebangsaan dan nasionalismenya.
(3) Anti Tariqah, Tasawuf dan Tawassul
Adalah mereka antithariqah, antitasawuf, antitawasul. Anti di sini bukan berarti tidak atau belum. Karena banyak umat atau masyarakat yang belum berthariqah, belum bertasawuf.
Tapi mereka anti. anti di sini adalah sikap membenci dengan membidahkan, menyesatkan. Ya. Bahkan mengkafirkan amalan-amalan tarekat, amalan malam para ulama-ulama tasawuf atau ulama-ulama