"Seperti Pak Jokowi (Presiden RI), Pak Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Bu Risma (mantan wali kota Surabaya, kini Menteri Sosial) dan Wali Kota Surabaya Pak Eri Cahyadi. PDIP ini kok tahu saja dan dapat kader bagus-bagus," ujar Denny seraya heran.
Sementara, Sereza Buana menyebut bahwa politik itu adalah cara menuju kebaikan. Dan, dari keluarga juga mendapat warisan sebagai pemilih partai banteng.
“Keluarga saya tidak ada yang ikut politik, tetapi pasti memilih banteng di bilik suara,” kata Sereza.
"Saya melihat partai ini (red, PDIP) sangat konsen pada rakyat kecil. Apapun kebutuhan dari masyarakatlah yang didahulukan. Itu yang saya lihat," ungkapnya.
Berbeda pengalaman Zaetun Taher. Sebab, sejak menjadi aktivis mahasiswa dulu, ia tidak membenci politik.
Bahkan teman kuliahnya juga banyak mengatakan hal sama. “Ternyata yang keliru adalah point of view-nya. Salah menangkap sudut pandangnya. Jadi, bukan tentang politiknya,” kata Zaetun.
"Juga kesalahan pada instrumennya. Tidak tepat memilih influencer, dalam menggaet anak-anak muda. Karena anak-anak muda sekarang gemar dengan medsos,” kata dia.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu termasuk mendapatkan “warisan ideologis” dari keluarganya sebagai pemilih PDIP.
"Dan, yang diurus PDIP itu negara serta rakyat terutama kalangan wong cilik. Itu yang saya lihat dari partai ini," terangnya.
Ia menyarankan, anak-anak muda untuk melek politik. Apalagi menghadapi Pemilu 2024.
“Politik itu tidak seram, dan tidak seperti yang dibayangkan. Dan di tahun 2024, ketika memasuki Pemilu, anak muda harus terlibat. Jangan hanya di sosmed saja," pintanya.
Ketua Karang Taruna Surabaya, Fuad Benardi, yang juga putra sulung Bu Risma, mengatakan dirinya masuk barisan PDIP karena kemauan sendiri.
Sekalipun ibunya kala itu menjabat walikota Surabaya dari PDIP, dan menjabat Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kebudayaan.
“Saya masuk PDIP karena kemauan sendiri. Saya masuk menjadi kader PDIP sejak 2015," ungkap Fuad.
Fuad bergabung PDIP karena tertarik pada pemikiran Bung Karno.