Ramadan 2023

Bolehkah Mokel karena Sakit Kepala? Ini Arti Kata Mokel - Siapa Saja yang Boleh Tidak Puasa Ramadan

Editor: Hefty Suud
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi sakit kepala - Ini penjelasan Buya Yahya tentang kategori orang yang diperbolehkan tidak puasa Ramadan. Bolehkah mokel karena sakit kepala?

TRIBUNJATIM.COM - Mokel menjadi salah satu istilah yang kerap dibicarakan di bulan Ramadan. 

Untuk diketahui, mokel adalah berbuka puasa sebelum waktunya.

Dari penelusuran TribunJatim.com dari berbagai sumber, mokel merupakan kosa kata yang berasal dari bahasa Jawa Timuran.

Biasanya, orang-orang mokel tanpa alasan khusus, hanya merasa tubuhnya tidak kuat menahan lapar dan minum di siang hari saat Bulan Ramadan. 

Namun ada juga yang mokel atau membatalkan puasa di siang hari karena masalah kesehatan, salah satunya sakit kepala. 

Nah setelah mengetahu arti kata mokel, selanjutnya jadi pertanyaan, bolehkah mokel karena sakit kepala? 

Berikut penjelasan Buya Yahya terkait kategori orang yang diperbolehkan tidak puasa Ramadan

Baca juga: Jadwal Buka Puasa Jawa Timur 5 Ramadan 1444 Hijriah, Senin 27 Maret 2023, Ada Bacaan Niat Buka Puasa

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

1. Anak kecil

Maksudnya, diantara orang yang boleh tidak puasa adalah anak yang belum baligh. Tanda baligh ada tiga, yaitu:

  • Pertama yang keluar mani (bagi anak laki-laki dan perempuan) pada usia 9 tahun Hijriah.
  • Kedua, keluar darah haid pada usia 9 tahun Hijriah (bagi anak perempuan).
  • Ketiga, jika tidak keluar mani dan tidak haid maka ditunggu hingga umur 15 tahun.
    Jika sudah genap 15 tahun maka ia disebut dengan telah baligh dengan usia, yaitu genap usia 15 tahun Hijriyah.

2. Gila

Orang gila tidak wajib puasa. Seandainya puasa maka puasanya pun tidak sah.

Dalam hal ini, ulama membagi orang gila menjadi dua macam, yaitu:

Pertama, orang gila dengan disengaja.

Baca juga: Beri Omzet Terbesar dan Keuntungan Terbanyak Jelang Ramadan 2023, Ini Marketplace Pilihan Seller!

Baca juga: Hikmah Ramadan: Puasa dan Pembentukan Kepribadian

Orang gila yang disengaja jika puasa maka puasanya tidak sah dan wajib mengqadha.

Sebab sebenarnya ia wajib puasa, kemudian ia telah dengan sengaja membuat dirinya gila. Kesengajaan inilah yang membuatnya wajib mengqadha puasanya setelah sehat akalnya.

Kedua, orang gila yang tidak disengaja. Orang gila yang tidak disengaja tidak wajib ber puasa.

Seandainya berpuasa maka puasanya tidak sah dan jika sudah sembuh dia tidak berkewajiban mengqadha, karena gilanya bukan disengaja.

3. Sakit

Ilustrasi sakit kepala (meetdoctor.com)

Orang sakit boleh meninggalkan puasa.

Adapun ketentuan bagi orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah:

Sakit parah yang memberatkan untuk puasa yang berakibat semakin parahnya penyakit atau lambatnya kesembuhan.

Adapun yang bisa menentukan sakit seperti ini adalah dokter Muslim yang terpercaya dan berdasarakan pengalamannya sendiri.

Dalam hal ini, tidak terbatas kepada orang sakit saja.

Akan tetapi, siapa pun yang sedang puasa lalu menemukan dirinya lemah dan tidak mampu untuk puasa dengan kondisi yang membahayakan terhadap dirinya maka saat itu pun dia boleh membatalkan puasanya.

Akan tetapi, ia hanya boleh makan dan minum seperlunya, kemudian wajib menahan diri dari makan dan minum seperti layaknya orang puasa.

Berbeda dengan orang sakit, ia boleh berbuka dan boleh makan sepuasnya untuk memulihkan kesehatannya.

Baca juga: 10 Menu Diet dan Cara Buka Puasa Sehat untuk Bikin Berat Badan Ideal, Minum 1-2 Gelas Air Putih

4. Orang Tua

Orang tua (lanjut usia) yang berat untuk melakukan puasa diperkenankan untuk meninggalkan puasa.

Dalam hal ini, tidak ada batasan umur.

Akan tetapi, asalkan betul-betul puasa memberatkan baginya hingga sampai membahayakan maka ia boleh berbuka puasa.

5. Bepergian (Musafir)

Semua orang yang bepergian boleh meninggalkan puasa dengan ketentuan sebagai berikut ini:

Tempat yang dituju dari tempat tinggalnya tidak kurang dari 84 km.

Di pagi (saat Shubuh) hari yang ia ingin tidak ber puasa, ia harus sudah berada di perjalanan dan keluar dari wilayah tempat tinggalnya (minimal batas kecamatan).

Misalnya kata Buya Yahya :

Seseorang tinggal di Cirebon ingin pergi ke Semarang. Jarak antara Cirebon – Semarang adalah 200 km (tidak kurang dari 84 km).

Baca juga: Tata Cara Salat di Pesawat, Kereta dan Bus saat Perjalanan Jauh, Disertai Cara Tentukan Arah Kiblat

Ia meninggalkan Cirebon pukul 2 malam (Sabtu dini hari). Shubuh hari itu adalah pukul 4 pagi. Pada pukul 4 pagi (saat Shubuh) ia sudah keluar dari Cirebon dan masuk Brebes.

Maka, di pagi hari Sabtunya ia sudah boleh meninggalkan puasa.

Berbeda jika berangkatnya ke Semarang setelah masuk waktu Shubuh, Sabtu pagi setelah masuk waktu Shubuh masih di Cirebon.

Maka, di pagi hari itu ia tidak boleh meninggalkan puasa karena sudah masuk Shubuh ia masih ada di rumah.

Akan tetapi ia boleh meninggalkan puasa di hari Ahadnya, karena di Shubuh hari Ahad ia berada di luar wilayahnya.

Ada beberapa catatan khusus bagi yang melakukan berpergian saat puasa.

Seseorang dalam bepergian akan dihukumi mukim (bukan musafir lagi) jika ia niat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari.

Misalnya, orang yang pergi ke Semarang yang tersebut dalam contoh, saat ia sampai di Tegal ia sudah boleh berbuka dan setelah sampai di Semarang juga tetap boleh berbuka, asalkan ia tidak bermaksud tinggal di Semarang lebih dari 4 hari.

Jika ia berniat tinggal di Semarang lebih dari 4 hari maka semenjak ia sampai di Semarang, ia sudah disebut mukim dan tidak boleh meninggalkan puasa dan juga tidak boleh mengqashar shalat.

Untuk dihukumi mukim tidak harus menunggu 4 hari seperti kesalahpahaman yang terjadi pada sebagian orang.

Akan tetapi, kapan ia sampai tempat tujuan yang ia niat akan tinggal lebih dari 4 hari, ia sudah disebut mukim.

Yang dihitung empat hari di sini adalah empat hari utuh, tidak dihitung hari masuk dan hari keluar, misal hari rabu siang dia sudah sampai di Semarang maka boleh dihitung hari pertama adalah malam Kamis, hari kedua adalah malam Jumat, hari ketiga adalah malam Sabtu, hari keempat adalah malam Ahad, dan dia keluar hari Senin maka hari Rabu saat ia datang dan hari Senin saat dia keluar tidak dihitung.

Begitu juga jika ada orang datang hari Sabtu siang, kemudian keluar hari Sabtu siang pekan berikutnya maka dua hari Sabtu tersebut tidak dianggap, sebab itu adalah hari keluar dan hari masuk yang tidak dihitung.

6. Hamil

Orang hamil diperbolehkan tidak ber puasa.

Adapun kategori orang hamil tersebut seperti orang hamil yang khawatir akan kondisi dirinya atau janin (bayinya).

7. Menyusui

Wanita yang tengah menyusui diperbolehkan tidak ber puasa apabila ia khawatir akan kondisi dirinya atau kondisi bayi yang masih di bawah umur dua tahun Hijriyah.

Bayi di sini tidak harus bayinya sendiri, tetapi bisa juga bayi orang lain.

Ilustrasi ibu menyusui. (freepik.com/senivpetro)

8. Haid

Wanita yang sedang haid tidak wajib ber puasa, bahkan jika ber puasa, puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.

9. Nifas

Terakhir adalah wanita yang sedang nifas tidak wajib ber puasa.

Jika ber puasa puasanya pun tidak sah bahkan dianggap haram hukumnya.

Nah untuk sakit kepala saat puasa, ternyata bisa diatasi tanpa perlu membatalkannya. 

Menurut dr. Elliot Shevel, direktur medis Headache Clinic dan ahli sakit kepala di Health24, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi sakit kepala saat puasa tanpa harus membatalkan puasa.

Baca juga: Menu Buka Puasa Ayu Dewi dan Keluarga, Selalu Sajikan Tempe Goreng, Makanan Peninggalan Almarhum Ibu

Baca juga: Resep dan Cara Membuat Es Campur Taiwan ala Chef Devina Hermawan, Menu Buka Puasa Gurih Segar

1. Konsumsi kafein

Jika Anda terbiasa minum kopi setiap hari, permasalahan ini akan kerap muncul selama puasa.

Shevel mengatakan bahwa pasien biasanya mengurangi konsumsi kafein selama seminggu sebelum puasa untuk mencegah hal ini.

Namun, Anda juga dapat mengonsumsi tepat satu cangkir kopi yang kuat untuk memulai puasa.

Hal ini guna untuk mencegah sakit kepala akibat putus kafein.

2. Perhatikan konsumsi makanan dengan kandungan gula

Mulai menurunkan berat badan hingga melawan infeksi, Ini manfaat minum kopi hitam tanpa gula. (pixabay)

Gula darah rendah atau hipoglikemia turut menjadi pemicu umum sakit kepala puasa.

Jika Anda menyantap makanan dengan kandungan gula yang tinggi saat memulai puasa atau sahur, hal itu akan menyebabkan kenaikan pesat pada kadar gula darah yang akan disusul oleh penurunan cepat dari gula darah.

Kabar buruknya, hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan rasa sakit kepala. Kondisi ini dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan rendah gula dan karbohidrat, seperti yogurt buah rendah kalori, jus apel, buah anggur, gandum mentah, nasi merah, dan jelai.

3. Jaga tubuh tetep terhidrasi

Dikutip dari News24, Shevel menyatakan, “Otak manusia kebanyakan mengandung air dan sangat sensitif akan kandungan yang tersedia."

"Saat otak mendeteksi kandungan air yang sangat rendah, otak akan mulai memproduksi histamin,” sambungnya.

Hal ini menandakan bahwa tubuh Anda memproses penjatahan dan konservasi kadar air untuk melindungi otak seandainya kekurangan air berlanjut untuk waktu yang lama.

Histamin tadi akan menimbulkan rasa sakit dan lelah yang memicu sakit kepala dan energi rendah.

Shevel menyarankan untuk minum air dengan jumlah yang banyak sebelum dan setelah berpuasa.

Tidak hanya itu, Shevel juga turut menganjurkan untuk sebaik mungkin menghindari pemicu sakit kepala lain, seperti stres, kelelahan, kurang tidur, selama periode berpuasa.

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dan TribunJateng.com

Berita tentang Ramadan 2023 lainnya

Berita Terkini