Oleh: Fauzi Palestin (Sekretaris MUI Jatim dan Pengisi Hujjah Aswaja tv9)
TRIBUNJATIM.COM - Kalau diibaratkan seperti tamu, bulan Ramadan merupakan tamu istimewa dengan membawa kebaikan, keberkahan, kebahagiaan, dan pembelajaran. Tak berlebihan jika dua bulan sebelum Ramadan tiba, Nabi ajarkan untaian harapan: "Allahumma barik lana fii rajaba wa sya'bana wa ballighna Ramadhana (Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, serta sampaikanlah kami untuk mengarungi kehidupan di bulan suci Ramadan). Untaian harapan itu begitu populer di kalangan masyarakat, mulai dari perkotaan hingga pedesaan.
Dalam tataran syariat, posisi puasa di bulan suci Ramadan sebagai bagian dari rukun Islam sudah menjadi keyakinan bersama yang tak perlu dipertanyakan.
Namun, ada banyak instrumen ritual dan pemahaman keagamaan yang berkenaan dengan Ramadan selalu diwarnai perbedaan-perbedaan. Sebutlah antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang berbeda konsep delam mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadan, jumlah rakaat tarawih, penggunaan bilal tarawih, dan perbebadaan-perbedaan lain yang bersifat furuiyyah.
Kalau kita melihat praktik di lapangan lebih detail, kita akan menjumpai adanya komparasi perbedaan, itu menarik untuk kita potret sebagai pembelajaran.
Di Masjid Al Akbar Surabaya misalnya, kita akan melihat sebuah praktik salat tarawih yang menampung dua kebiasaan masyarakat.
Para jemaah yang kebiasaan salat tarawihnya 8 rakaat geser ke belakang setelah menyelesaikan 8 rakaat. Sementara jemaah yang terbiasa dengan 20 rakaat terus melanjutkan hingga 20 rakaat. Plus salat witir.
Di tempat yang lain, ada praktik perpaduan yang tak kalah menarik. Seperti pelaksanaan salat tarawih 8 rakaat dan witir 3 rakaat dengan satu kali salam. Biasanya, praktik tarawih seperti ini model senyap. Tanpa bilal. Namun, ada banyak masjid yang jumlah rakaat tarawihnya 8 rakaat dan disertai dengan bilal. Bacaan suratnya memakai at-takatsur sebagaimana jemaah tarawih 20 rakaat.
Sepintas lucu dan menggemaskan. Bagi orang tertentu, hal seperti itu merupakan inkonsistensi dalam sebuah praktik keagamaan.
Diakui atau tidak, praktik di atas seakan menjadi role model tersendiri bagi masyarakat metropolitan yang heterogen. Sejauh ini, berdasarkan tinjauan penulis, belum ditemui kemudharatan subtantansial di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Arti Kata Imsak, Istilah Puasa Ramadan 2023: Apakah Masih Boleh Makan? Ini Penjelasan Gus Baha - UAS
Dari sisi tinjauan hukum Islam, praktik di atas bukan termasuk mencampur aduk ibadah (talfiq) yang menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan. Walaupun ada sebagian ulama yang memperbolehkan seperti Kamal Ibnu Hamam, Ad Dasuki, Ibnu Amir dan lain-lain.
Jika menoleh terhadap madzhab-madzhab terdahulu, satu dengan yang lain terdapat berbagai perbedaan pandangan. Hal itu disebabkan (antara) karena mereka dihadapkan pada situasi yang berbeda. Meski sumbernya sama, yaitu Alquran dan hadits.
Dari faktor kebutuhan psikologis manusia, perbedaan bermadzhab seakan menjadi solusi dalam menjalankan kreasi praktik keagaamaan, tanpa menyalahi aturan baku (mujma'alaih) yang sudah menjadi ketetapan. Dari sini, Islam selalu hadir seiring dengan perkembangan zaman (shalihun likulli zaman wal makan).
Perbedaan furuiyyah jika dikelola dengan baik akan menjadi khazanah, pertumbuhan intelektual, dan harmoni sosial. Satu dengan yang lain tidak lagi berebutan siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Semua bermuara pada maqashid syariah yang sama, yakni beribadah kepada Allah (hifdzud din).
Dari penghambaan secara vertikal, lalu naik menjadi penghambaan horizontal. Artinya, potret ibadah yang bersifat kolaboratif di metropolitan di atas, dapat mengedukasi umat Islam tentang pentingnya menjaga keutuhan bersama dalam konteks bergama, berbangsa, dan bernegara. Berbeda, tapi tetap bersama untuk kemajuan bersama. Dengan parameter beragama yang jelas, tanpa ada saling menyulutkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.
Selain keberkahan, tamu Ramadan ini juga membawa perbedaan-perbedaan. Seyogyanya, bukan menjadi sebab terjadinya kerenggangan karena beda praktik keagamaan yang bersifat furuiyyah. Perbedaan merupakan keniscayaan. Kepada bulan suci Ramadan, kita belajar untuk senantiasa berdamai dengan perbedaan.