Dari tempat sempit itulah mereka menjalani kehidupan, mengasuh anak mereka sambil menjalankan usaha.
Diakuinya, ia dan sang suami nyaris tak pernah meninggalkan warung yang buka 24 jam penuh, selama satu minggu.
Sekalipun pergi, mereka harus bergantian.
Jika sang suami berbelanja ke pasar, Ati menunggu di warung, dan sebaliknya.
Dunia mereka seolah berkutat di warung kelontong tersebut.
Setelah keduanya lama berkutat sebagai karyawan toko kelontong, mereka kemudian mampu membeli toko-toko lain untuk membuka usaha sendiri.
Diketahui pasutri ini memiliki sebanyak tiga toko.
"Sekarang sudah ada tiga toko, masing-masing ada (karyawan) yang jaga," ujarnya.
"Ada yang satu toko tiga orang, ada yang dua orang," tuturnya.
Jejak ini kemudian banyak diikuti oleh warga Kampung Mandun, Desa Cabbiya, Kecamatan Talango, lainnya.
Mayoritas dari mereka terbilang sukses membuka usaha warung kelontong di Jakarta.
Dampaknya, rumah-rumah warga di kampung Mandun kini megah-megah bak istana.
Melansir dari Kompas.com, fenomena merantaunya warga Kampung Mandun diakui juga oleh aparat desa setempat, Rasyid (52).
Berharap nasib yang sama seperti Ati dan sang suami, hampir 50 persen warga kampung memilih pergi ke Jakarta untuk membuka warung kelontong Madura.
"Di sini tidak ada kerjaan, paling-paling jadi nelayan, dan itu musiman," kata Rasyid.
"Kalau mau melakukan aktivitas pertanian di sini jenis tanahnya kering," lanjut Rasyid.
Berangkat dari latar belakang persoalan tersebut, mayoritas warga akhirnya memilih merantau ke Jakarta.
Puncaknya, lanjut Rasyid, terjadi pada tahun 2017 atau lima tahun lalu.
Hingga kini keberadaan rumah-rumah mewah tersebut terus menggurita di Mandun.
Namun mayoritas pemiliknya justru ada di Jakarta untuk mengurus usahanya.
Kendati begitu, rumah yang dibangun dengan harga miliaran rupiah tersebut tetap dihuni oleh kerabat hingga orang tua dari pemilik rumah.
"Ada yang bertahun-tahun tidak pulang, rumah-rumah mewah di sini banyak yang ditempati orang tuanya," pungkasnya.