Karena itulah Amelia meninggalkan dusun, kembali lagi ke kota, Jakarta, dan memulai jalan yang lain lagi.
Dia sempat masuk sebuah partai politik, ikut dalam pemilihan kepala daerah, namun tidak berhasil, sampai uangnya habis.
Pengalaman itu membuatnya semakin matang, lalu membuatnya menulis lagi.
“Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi.”
Amelia Achmad Yani lahir di Magelang, Jawa tengah, pada 22 Desember 1949, merupakan putri ketiga dari delapan bersaudara anak dari Achmad Yani dan Yayu Ruliah Sutowirdiyo.
Baca juga: Arti Kata G30S, Gestapu dan Gestok, Berkaitan dengan Operasi Pembunuhan Para Jendral Pada 1 Oktober
Menurut Amelia, adiknya, Mas Untung, dan Mas Edi, mungkin masih belum bisa menerima bahwa Achmad Yani menjadi korban gugur dalam peristiwa G30S/PKI.
Amelia menuturkan bahwa dia terbawa situasi ketika teman-teman datang mengajaknya bertemu dengan Brigjen Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak DN Aidit, dan anak Marsekal Madya Omar Dhani, yang dalam G30S/PKI ada di seberang sana.
“Saya merasa diuntungkan. ‘Kan saya anak pahlawan revolusi,” katanya.
Tetapi, mereka mengatakan, “Kami (anak dariorangtua yang anggota PKI) anak pengkhianat, (selalu disebut), ‘Kamu PKI, kamu PKI’.”
“Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku), bukan pelaku,” tutur Amelia.
Amelia kemudian pergi ke Pulau Buru (Maluku), untuk melihat seberapa kehidupan di sana, yang waktu itu sudah menjadi lumbung padi di Maluku, karena orang Jawa banyak yang pindah ke sana.
Pulau Buru menjadi tempat para tahanan politik mereka yang terlibat dalam G30S/PKI.
Di Pulau Buru itu, menurut Amelia, dulu memang sulit, ketika semua mengalami kesulitan, inflasi sampai 600 persen, kemudian terjadi lagi tahun 1998.
Maka, Amelia ingin bangsa ini belajar dari semua kejadian yang pernah dialami.
Bila generasi sesudah itu tidak mengalami, maka dia akan menulis, supaya generasi selanjutnya tahu dari sejarah.