Frederikus sudah bekerja di SMP Negeri Wini selama dua tahun sebagai guru honorer.
Sehari-hari, ia pergi mengajar menggunakan sepeda motor karena rumahnya tidak jauh dari SMP Negeri Wini.
Lulusan Universitas Timor itu mengaku sempat telat menerima gaji selama enam bulan.
Dia mengatakan gaji para guru honorer di SMP Negeri Wini bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan uang komite dari siswa senilai Rp 35.000.
“Biasanya telat (dapat gaji). Kan 15 persen dari dana BOS dan beberapa persen dari komite. Kalau dana Bos kan bertahap. Kalau sudah cair, baru dibayar. Kalau enggak, kita nikmati saja,” ujar Frederikus.
Lukas membenarkan setiap siswa di SMP Negeri Wini dipungut biaya senilai Rp 35.000 per bulan.
Selain keperluan sekolah, uang komite itu digunakan untuk menggaji guru honorer.
“Per harian dari Pemerintah Daerah (Pemda) sudah tidak ada lagi. Karena, kontrak sudah diputus untuk guru-guru. Jadi, honorer murni. Biayanya (digajinya) dari uang yang setiap siswa bayar Rp 35.000 untuk guru honorer,” ungkap Lukas.
Dia mengatakan uang tersebut khusus untuk para guru honorer. Dirinya sebagai guru PPPK tidak menerima gaji dari uang komite.
“Karena, dari biaya komite ini harus murni ke guru yang berstatus honorer,” tegas Lukas.
Kasus di Madura
Wako Wadidi, seorang Guru Tidak Tetap (GTT) di SDN Tamberu Barat 1, Kecamatan Sokobanah, Kabupaten Sampang, Madura mengeluh mendapat perlakuan tak adil oleh oknum Kepala Sekolah (Kepsek), tempatnya kerja.
Wako menilai mendapat perlakuan tidak adil oleh oknum kepsek setempat, di mana upah yang seharusnya didapatkan penuh diduga disunat.
Padahal, sebagai GTT yang sudah memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), seharusnya honor yang diterima Rp 750 ribu per bulan.
Namun hanya mendapatkannya 400 ribu perbulan. Gaji tersebut diterima sejak 2022 hingga Oktober 2023.