Pencabulan Santriwati di Trenggalek

Kiai dan Putra Pemilik Ponpes di Trenggalek Lecehkan 12 Santri, Beraksi Sendiri-sendiri Mulai 2021

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi pencabulan santriwati di Trenggalek, pelaku ternyata kiai dan putra pemilik pondok pesantren. Korban kompak lapor.

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Sofyan Arif

TRIBUNJATIM.COM, TRENGGALEK - Tiga tahun diam-diam lakukan pelecehan seksual terhadap 12 santriwati di pondok pesantren di Trenggalek, seorang kiai dan putranya terancam hukuman hingga 15 tahun penjara. 

Kasus pelecehan seksual pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek ini bikin geger. 

Pelaku ternyata kiai pemilik ponpes tersebut dan putranya. 

Keduanya beraksi masing-masing dan mengaku tak saling tahu.

Modus keduanya dalam melancarkan aksi pencabulan pun berbeda. 

Hal ini diungkap Kasatreskrim Polres Trenggalek, AKP Zainul Abidin.

Pelaku M (72) maupun F (37) beraksi sendiri-sendiri.

"Keduanya tidak saling mengetahui satu sama lain jika sama-sama melakukan pencabulan terhadap santri di pondok tersebut," kata AKP Zainul Abidin, Selasa (19/3/2024).

Modus yang dilakukan M adalah dengan mengiming-imingi uang kepada santri putri saat melakukan aksi pencabulan.

Uang tersebut diberikan kepada santri putri sembari melakukan aksi pencabulan dengan memegang anggota vital santriwati.

"Kalau F lebih ke menyuruh bersih-bersih ruangan tertentu, lalu melakukan pencabulan di ruangan tersebut," lanjutnya.

Dari 12 santriwati tersebut, ada yang dilakukan pencabulan satu kali, namun ada juga yang dilakukan dua kali.

Saat ini, Polres Trenggalek telah mendapatkan keterangan dari 10 korban M dan F dari total 12 korban.

Baca juga: Keluarga Santriwati Korban Kiai Cabul asal Bawean Gresik Tolak Upaya Mediasi Tersangka

Baca juga: Berkas Kasus Kiai Cabul di Jember Sudah P21, Berikut Penjelasan Kejari

Satreskrim menjadwalkan ulang pemeriksaan kepada dua korban dalam waktu dekat.

"Yang 2 ini belum siap pendamping dan jauh dari pusat kota, sehingga butuh waktu untuk komunikasi dan membuat jadwal lagi," jelas AKP Zainul Abidin.

Dari 12 korban tersebut, sebagian sudah lulus, namun ada juga yang masih bersekolah di pondok pesantren tersebut.

AKP Zainul Abidin menjelaskan, pondok pesantren tersebut mempunyai empat satuan pendidikan yaitu MA, SMK, MTS/SMP, dan Madrasah Diniyah.

"Korban juga telah dilakukan visum dan hasilnya sehat wal afiat, dan sudah mendapatkan pendampingan dari Dinsos," terang AKP Zainul Abidin  . 

Atas perbuatannya, pelaku terancam UU perlindungan anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, lalu UU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan ancaman maksimal 12 tahun, serta UU KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.

Kasatreskrim Polres Trenggalek, AKP Zainul Abidin saat memberikan keterangan kasus pencabulan santriwati, Rabu, (13/3/2024). (TribunJatim.com/Sofyan Arif Candra)

Aksi bejat sejak 2021

Sebelumnya, Kasatreskrim Polres Trenggalek, AKP Zainul Abidin mengatakan, dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi, ada 12 santri yang teridentifikasi menjadi korban M dan F, namun baru 4 orang yang melapor.

Semua korban masih di bawah umur.

"Kejadiannya mulai tahun 2021 hingga tahun 2024, korban ada yang dilecehkan lebih dari sekali," kata AKP Zainul Abidin, Kamis (14/3/2024).

Satreskrim Polres Trenggalek tengah bersiap melakukan gelar perkara ke Polda Jatim.

Baca juga: Santriwati di Kediri Buang Bayi Baru Lahir saat Tarawih, Ditemukan Warga Kondisinya Sehat, Ibu: Malu

Namun sebelumnya, pihak penyidik akan memanggil terlebih dahulu kedua terlapor.

"Dalam proses penyidikan kita sudah berkomunikasi dengan sejumlah pihak, baik itu dengan Kantor Kemenag Kabupaten Trenggalek, maupun dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Trenggalek," lanjutnya.

Selain itu, Polres Trenggalek juga berkoordinasi dengan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk mendampingi korban, serta melakukan monitoring terhadap aktivitas di pondok pesantren tersebut.

Izin Ponpes Terancam Dicabut

Ilustrasi pencabulan yang dilakukan kiai dan putra pemilik ponpes di Trenggalek. (Tribunnews.com)

Sementara itu, Kemenag Kabupaten Trenggalek menyesalkan terjadinya kasus pencabulan santriwati oleh pemilik pondok pesantren dan putranya yang menjabat sebagai kepala sekolah di pondok pesantren yang berlokasi di Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Trenggalek, Mohammad Nur Ibadi menyebutkan pondok pesantren tersebut sebenarnya sudah memiliki izin operasional atau ijop yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag.

"Pondok pesantren tersebut memiliki lima Ijop, yaitu Ijop pondok pesantren, SMK, Madrasah Aliyah, SMP, dan Madrasah Diniyah," kata Ibadi, Senin (18/3/2024).

Ketika sudah memiliki Ijop, menurut Ibadi pesantren tersebut telah memiliki 5 rukun atau arkanul ma'had sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2019.

"Lima rukunnya yaitu memiliki kiai yang sanad ilmunya jelas, kiai tersebut juga harus mukim di ponpes tersebut. Rukun kedua adalah memiliki santri minimal 15 orang, punya masjid, asrama, dan pengajian kitab kuning," kata Ibadi.

Pengurusan Ijop tersebut dilakukan secara online melalui sistem informasi pesantren yang di verifikasi serta validasi oleh Kemenag Kabupaten Trenggalek dengan mendatangi langsung pondok pesantrennya.

"Karena sudah sesuai dengan arkanul ma'had-nya jadi Ijop nya pun diterbitkan," tegas Ibadi.

Setelah Ijop terbit, Kemenag Trenggalek juga melakukan pengawasan setiap saat.

Salah satunya dengan EMIS (Education Management Information System) atau Platform Sistem Pendataan Pendidikan di Kementerian Agama.

"Dengan lahirnya uu pesantren, santri kan dapat afirmasi berupa BOS, nah salah satu syaratnya adalah santri harus terekam di EMIS dan harus di-update terus," jelas Ibadi. 

Jika tidak di-update maka Kemenag akan melakukan verifikasi dan validasi pembelajaran pondok pesantren masih berjalan atau tidak.

"Misalnya memang tidak ada santrinya berarti tidak jalan, dan bisa dicabut oleh Ditjen Pendis," tegas Ibadi.

Khusus untuk kasus di Kecamatan Karangan Kemenag tidak bisa serta merta mencabut Ijopnya karena menunggu rapat lintas sektoral dengan Polres Trenggalek, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Dinas Pendidikan.

"Misalnya rekomendasi nya paling ekstrem pencabutan Ijop, maka nanti akan kami buatkan berita acara kami bersurat ke Dirjen Pendis," pungkasnya.

Berita Jatim dan Berita Viral lainnya

Berita Terkini