Ketika embrio kehilangan atau memiliki kelebihan kromosom, kondisi ini dikenal sebagai aneuploidi (an yu ploy-dee).
Risiko terjadinya aneuploidi penyebab keguguran atau kelainan genetik akan meningkat seiring usia ibu. Seperti bayi dengan autisme dan down syndrome.
"Itu salah satu alasan Jessica yang berusia di atas 35 tahun memilih IVF," kata dr Benediktus.
Kehamilan genetik sehat di atas usia rawan itu bisa dilakukan dengan IVF teknologi Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy (PGT-A).
PGT-A direkomendasikan untuk pasien berusia 35 tahun ke atas. Bukan hanya yang mengalami kemandulan.
Jessica telah menjalani tes kesuburan dasar sebelum menjalani program. Hasil tes sempurna. Tapi ia tetap memilih IVF untuk meminimalisir kelainan genetik.
"Kami melihat Jessica yang sudah berusia 36 tahun, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk kelainan kromosom pada embrio jika hamil," terangnya.
Dengan Metode PGT-A, lanjutnya, kehamilan dapat diseleksi terlebih dahulu dengan akurasi sampai 98-99 persen.
"Seleksi embrio dilakukan secara lebih detail untuk memastikan embrio ini sehat," jelas dr Benny, sapaan dr Benediktus Arifin.
PGT-A dapat secara akurat mengidentifikasi embrio ini sehingga hanya embrio yang layak, yang dipilih untuk implantasi atau ditanam di rahim.
"PGT-A meningkatkan keberhasilan IVF dan juga memungkinkan transfer embrio," tambah dr Benny.
Selama proses IVF, PGT-A menskrining embrio untuk menemukan embrio yang paling memungkinkan memiliki jumlah kromosom yang benar.
Hal ini disebutkan oleh dokter, dapat membantu meningkatkan peluang keberhasilan implantasi dan kehamilan juga mengurangi kemungkinan keguguran.
Untuk Jessica, dr Benny dan tim melakukan proses PGT-A dari lima embrio.
"Kita dapat embrio yang sehat-sehat dan kemudian kita tanam satu embrio," ujarnya.