Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Mantan Bupati Jember, Faida menjalani pemeriksaan penyidik Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim atas kasus dugaan korupsi anggaran penanggulangan pandemi Covid-19 Pemkab Jember yang merugikan negara sekitar Rp 107 miliar, pada Kamis (1/8/2024).
Pantauan TribunJatim.com di depan Gedung Ditreskrimsus Mapolda Jatim, pukul 17.30 WIB, Faida ditemani seorang asisten wanitanya, tampak berjalan keluar dari pintu utama berbahan kaca gedung berlantai empat itu.
Faida tak menampik bahwa dirinya sedang menjalani agenda pemeriksaan untuk memberikan klarifikasi atas kasus tersebut.
Ia datang pertama kali ke Mapolda Jatim, jam 10.00 WIB, namun baru resmi menjalani sesi pemeriksaan; wawancara dengan penyidik sore hari.
Bahkan, dirinya belum sepenuhnya rampung menjalani agenda pemeriksaan tersebut.
Ia hanya meminta waktu penyidik rehat sejenak untuk menunaikan ibadah salat Maghrib dan makan malam, sebelum melanjutkan pemeriksaan.
"Belum selesai, saya minta break (istirahat salat) Magrib. Karena ada beberapa kelengkapan yang masih belum terkirim dari Jember. Tapi clear, selesai, hanya kelengkapan administrasi agar tidak bolak-balik," ujarnya kepada awak media.
Faida mengaku senang diberikan kesempatan untuk menghadiri sesi pemeriksaan di Mapolda Jatim, kali ini.
Karena ia ingin memberikan klarifikasi yang sebenarnya atas sejumlah informasi mengenai adanya dugaan kasus tersebut.
Pasalnya, mencuatnya isu kasus tersebut, diakui Faida merugikan dirinya.
"Jadi saya manfaatkan klarifikasi di Polda Jatim dengan sebaik-baiknya," jelasnya.
Baca juga: BREAKING NEWS - AMAK Jawa Timur Geruduk Polda Jatim, Desak Usut Tuntas Dugaan Korupsi Dana Covid-19
Menurutnya, permasalahan hukum yang sedang diselidiki oleh pihak Polda Jatim, sampai saat ini, berpangkal pada faktor teknis proses pelaporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran penanggulangan Covid-19 pada tahun 2020.
Faida merasa dituduh belum melaporkan atau menyerahkan semua bukti surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan dana untuk penanganan bencana pandemi tersebut.
Padahal, ia menegaskan, semua penggunaan anggaran tersebut telah disertakan adanya SPJ. Dan hal tersebut telah sesuai dengan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri).
Bahkan, proses penggunaan anggaran tersebut juga sudah diketahui oleh para pejabat organisasi perangkat daerah (OPD) Pemkab Jember.
"Dan dalam Permendagri mengatur tentang keuangan Covid ini, di situ disebutkan bahwa, apabila sudah ada SPJ lengkap dalam kegiatan Covid ini, dan ada tanggung jawab mutlak dari OPD dengan tanda tangan, dan dua-duanya ada," terangnya.
Hanya saja, ia mengakui, permasalahan tersebut akhirnya muncul karena semua laporan SPJ penggunaan dana ratusan miliar rupiah tersebut belum diunggah atau dimasukkan dalam bank data (database) Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) Pemkab Jember, kala itu.
Faida menganggap, ada sejumlah pejabat yang berwenang untuk proses pengunggahan laporan penggunaan anggaran tersebut, tidak melakukan tugasnya secara maksimal.
Hal tersebut dilatarbelakangi sejumlah kemungkinan, yang menurutnya cukup masuk akal untuk dimaklumi.
Mulai dari, adanya kemungkinan yang disebabkan fase peralihan kepemimpinan kala itu, sehingga membuat pejabat yang berwenang belum bisa mengunggah SPJ anggaran ke SIMDA Pemkab Jember.
Hingga, adanya kemungkinan, pejabat yang berwenang merasa takut memberikan persetujuan atas pengunggahan SPJ anggaran dana penanggulangan Covid-19.
"Secara teknis aja. Secara administratif, karena dalam situasi transisi politik, pergantian pejabat dan lalu ada pergantian pimpinan daerah, dan ada pergantian pimpinan pejabat, dan pejabat yang baru ini, entah takut atau dalam tekanan, entah kurang mengerti, seharusnya dia meng-approve, tapi dia tidak meng-approve," ungkapnya.
Selain itu, Faida juga merespons adanya demonstrasi yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat hingga menyeret-nyeret dirinya di ranah hukum.
Ia mengaku tidak merasa berkeberatan dengan adanya aksi demonstrasi tersebut. Karena negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang memberikan kepastian keamanan untuk semua warga negara menyampaikan aspirasinya.
"Ya gak apa-apa, kan negara demokrasi, boleh. Enggak ada larangan. Boleh mengekspresikan, saya pikir boleh juga buat stimulir. Dengan adanya kesempatan jadi klarifikasi di Polda Jatim. Saya pikir bagus aja," pungkasnya.
Sementara itu, Kasubdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda Jatim, AKBP Edy Herwiyanto tak menampik adanya agenda pemeriksaan terhadap Faida.
Hanya saja ia menyarankan untuk menanyakan perkembangan penyelidikan kasus tersebut kepada Kombes Pol Lutfie Setiawan selaku Direktur Ditreskrimsus Polda Jatim.
Namun, Kombes Pol Lutfie Setiawan belum merespons saat dihubungi TribunJatim.com melalui sambungan telepon.
"(Tanya) Ke Pak Dir (Kombes Pol Lutfie Setiawan selaku Direktur Ditreskrimsus Polda Jatim)," ujar mantan Wakasat Reskrim Polrestabes Surabaya itu, saat dihubungi awak media.
Sebelumnya, puas berorasi di depan Mapolda Jatim, ratusan massa dari Aliansi Masyarakat Antikorupsi (AMAK) Jatim bergeser menggeruduk Kantor Kejaksaan Tinggi Jatim, lalu membakar ban bekas di depan pintu gerbang utama kantor.
Mereka mendesak pihak kejaksaan untuk mengusut dugaan kasus korupsi anggaran penanggulangan pandemi Covid-19 Pemkab Jember yang merugikan negara sekitar Rp 107 miliar.
Setelah puas berorasi di depan pagar menggunakan sound system yang diangkut mobil pickup, mereka lantas meletakkan ban bekas di bahu jalan depan pagar kantor.
Lalu mereka menyirami permukaan ban berwarna hitam nan dekil itu, menggunakan cairan bahan bakar.
Kemudian, mereka menyulutnya menggunakan korek.
Dan membiarkan ban tersebut terbakar hingga menimbulkan kepulan asap berwarna hitam nan pekat.
"Nyala api ini adalah nyala semangat kita memperjuangkan nasib warga Jatim. Ini bukan iseng belaka, tapi ada masyarakat Jatim yang kesusahan. Kami ingin menyampaikan aspirasi," ujar Koordinator Aksi M Affandi, saat menyampaikan aspirasinya, melalui pengeras suara, Rabu (18/7/2024).
Sekadar diketahui, dikutip dari Kompas.com, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan keganjilan dalam laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) Kabupaten Jember tahun anggaran 2020.
BPK menemukan dana bantuan tidak terduga (BTT) Covid-19 senilai Rp 107 miliar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Pada 2020, Pemkab Jember menganggarkan dana BTT Covid-19 sebanyak Rp 479 miliar. Dana tersebut dikeluarkan bupati periode sebelumnya.
"Dari dana BTT Covid-19 Rp 479 miliar, sebanyak Rp 220 miliar sudah terbelanjakan," kata Wakil ketua DPRD Jember, Ahmad Halim kepada Kompas.com di ruangannya, Senin (7/6/2021).
Realisasi BTT sebesar Rp 220 miliar tersebut sudah keluar dari rekening kas daerah.
Rinciannya, sebanyak Rp 74 miliar memiliki surat pertanggungjawaban.
Sedangkan Rp 107 miliar dana yang keluar tidak ada surat pertanggungjawabannya.
"Artinya Rp 107 miliar keluar, sampai dengan deadline 31 Desember 2021 tidak bisa dipertanggungjawabkan," tambah Halim.
Lalu, sebanyak Rp 17 miliar sudah dikembalikan ke rekening kas umum daerah (RKUD) pada 2020.
Sebanyak Rp 1,8 miliar disetor ke RKUD, namun baru dilaporkan pada 2021.
Sedangkan dana yang masih ada di rekening kas bendahara sebanyak Rp 18 miliar.
Politisi Gerindra itu menegaskan, seharusnya dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan itu dikembalikan pada rekening kas umum daerah. Namun hal itu tidak dilakukan sampai sekarang
"Seharusnya dikembalikan pada kas daerah, namun tidak dilakukan," imbuh dia.
Halim tak mengetahui pasti ke mana larinya dana ratusan miliar rupiah itu.
Kata dia, uang tersebut sudah keluar dari rekening kas daerah ke pengguna anggaran Covid-19, yakni BPBD Jember.
Halim menilai tidak adanya pertanggungjawaban dana tersebut berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
Artinya, kata Halim, ada potensi terjadi tindak pidana korupsi dalam pengeluaran dana BTT Covid-19 tersebut.
"BPK menilai ini akan sulit kalau tidak diputuskan majelis hakim. BPK menjelaskan tindak lanjut tersebut bisa dibawa ke pengadilan," tambahnya.
Halim menambahkan, berdasarkan Pasal 20 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, di dalamnya mengamanatkan pada DPRD dan Pemkab Jember untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut.
Untuk itu, pihak DPRD Jember akan melaporkan temuan tersebut pada aparat penegak hukum. Namun, harus mengkaji terlebih dahulu dengan pimpinan DPRD Jember dan tim ahli.
"Kami komunikasikan dengan tim ahli, membuat narasi laporan seperti apa," ucapnya.
Di lain sisi, temuan BPK terkait dana Covid-19 Pemkab Jember sebesar Rp 107 miliar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan membuat Bupati Jember, Hendy Siswanto kebingungan.
Sebab, sampai sekarang masih belum menemukan cara untuk memberikan jawaban.
"Rp 107 miliar ini membuat saya sangat sedih. Terus terang saja, bagaimana cara menyelesaikan, kami masih belum melihatnya," ujar Hendy pada awak media, usai menghadiri rapat paripurna di Kantor DPRD Jember, Selasa (22/6/2021).
Oleh karena itu, ia meminta agar para pejabat yang bertanggung jawab dengan anggaran tersebut segera mencari solusinya.
Sebab, pertanggungjawaban dana itu bukan pada dirinya, melainkan kebijakan yang dilakukan oleh bupati sebelumnya.
"Satu bulan sudah terlewati, kami masih bingung apa untuk memberikan jawaban LHP BPK," terangnya.
Hendy menilai, pertanggungjawaban dana tersebut cukup sulit.
Sebab, ia menduga ada pekerjaan yang dilakukan melebihi tahun anggaran 31 Desember 2020, yakni pekerjaan pada Januari 2021.
Dana tersebut ada yang dikeluarkan sebelum tahun anggaran 2020.
Namun, ada juga transaksi setelah tahun angggaran habis.
"Tapi yang jelas, ada transaksi di luar 31 Desember 2020," ungkapnya.
Bila dana itu dikeluarkan melewati tahun 2020, Hendy mengaku tidak bisa menerima pertanggungjawabannya.
Sebab, setelah tahun 2020, tidak ada transaksi lagi. Dia juga mengaku kesulitan untuk mendapatkan data terkait pekerjaan apa saja yang digunakan dengan dana Rp 107 miliar itu. Akhirnya, ia hanya membaca laporan dari BPK.
"Barangnya seperti apa, kami belum tahu. Uangnya katanya sudah dibayarkan pada pihak ketiga, tapi tidak ada SPJ-nya. Kami minta SPJ-nya, tidak diberikan," paparnya.
Hendy menambahkan, ada 33 pejabat yang dipanggil oleh BPK. Namun, yang bertanggung jawab dengan dana Rp 107 miliar itu antara 9 sampai 10 orang.
Hendy mengatakan, laporan pertanggungjawaban terkait dana tersebut sudah selesai. Dia hanya mengantarkan dan menyerahkan pada BPK.
"Yang melengkapi dokumen bukan saya, teman-teman. Saya hanya mengantarkan saja. Setelah itu, silakan BPK menilai," pungkasnya.