Itu pula alasan yang membuat pemerintah menganggap penggratisan seluruh sekolah swasta tidak realistis.
Sebab, sekolah-sekolah swasta dinilai memiliki standar tertentu untuk pembiayaan yang mereka sebut sebagai sekolah dengan karakter keunggulan
Baca juga: Pilu SDN 1 Bajang Ponorogo Dikepung Sekolah Swasta, Dulu Muridnya Ratusan, Kini Tak Dapat Siswa Baru
Sebagian sekolah swasta, misalnya, menerapkan kurikulum internasional dan sejumlah kegiatan ekstrakuliker yang berdampak pada pembengkakan biaya studi di luar standar pelayanan minimal yang tidak bisa dicakup oleh APBN.
"Keunggulan-keunggulan yang khas pada sekolah-sekolah swasta ini adalah preferensi sekolah swasta dan orangtua murid yang ingin menyekolahkan ke sekolah-sekolah yang menurut mereka standarnya bagus dan sesuai aspirasi mereka, orangtua yang umumnya dari keluarga mampu, keluarga kaya," kata Amich.
"Sebagian dari mereka tidak mau menerima BOS (bantuan operasional sekolah)," ucap dia.
Dalam uji materi di MK ini, Jaringan Pemantau Pendidik Indonesia (JPPI) meminta agar Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas tidak hanya mewajibkan pendidikan dasar (SD-SMP) gratis di sekolah negeri saja, tetapi juga sekolah swasta.
Menurut mereka, sekolah swasta tidak wajib gratis bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
Mereka juga mempersoalkan tingginya angka putus dan tidak sekolah di saat anggaran pendidikan juga semakin tinggi.
Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah, menurut JPPI, masih berupa belas kasihan atau bantuan negara, alih-alih kewajiban negara.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com