“Kami imbau mereka untuk tidak menjual minuman keras (miras), tidak memfasilitasi prostitusi dan lain-lainnya yang tidak sesuai dengan peraturan daerah (perda) yang ada,” sambungnya.
Pengelola Pertokoan Gempol 9, Ansori mengakui memang belum ada warkop yang setor retribusi ataupun pajak selama ini.
Dia menyadarinya, dan baru awal bulan kemarin mendapatkan sosialisasi.
Dia juga tidak menampik warkop ini sudah berdiri sejak dua tahunan. Dan selama itu, warkop tidak membayar retribusi ataupun pajak.
Hanya saja, ia menampik kalau dituding sebagai sebuah kesengajaan.
“Ya kalau sengaja tidak membayar pajak atau retribusi sih tidak, mungkin karena keterbatasan informasi dan tidak pahamnya tentang kewajiban yang harus dilakukan, maka tidak dibayar,” imbuhnya.
Prinsipnya, kata dia, setelah sosialisasi kemarin, semua pemilik warkop bersedia ke depannya untuk membayar pajak dan retribusi ini.
“Para pemilik warkop tidak ada yang keberatan kalau membayar pajak,” terangnya.
Disinggung terkait upeti yang dibayarkan setiap harinya, Ansori juga tidak menampiknya.
Hanya saja, ia tidak banyak tahu karena yang mengelola dan mengurus iuran yang disetorkan setiap hari itu paguyuban.
“Kalau mendengar ada setoran yang dibayarkan setiap hari memang iya, tapi besarannya berapa dan digunakan untuk apa saya tidak tahu. Semuanya dikendalikan sama paguyuban warkop Gempol 9,” jelasnya.
Terpisah, Direktur Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (PUSAKA), Lujeng Sudarto mendorong para pemilik warkop untuk meminta pertanggungjawaban dari iuran yang sudah terkumpul dari setoran setiap harinya.
“Para pemilik warkop bisa melakukan audit penggunaan uang tersebut. Siapa yang menarik iuran, digunakan untuk apa itu harus jelas dan bisa dipertanggungjawabkan,” tutup Lujeng, sapaan akrabnya.