TRIBUNJATIM.COM - Inilah sosok Sugimin (54) dan Tini (47), pasutri penjual gatot yang bisa kuliahkan tiga anaknya.
Selain gatot, warga Sragen ini juga jualan kerupuk trowolo.
Jajanan jadul ini membuat pasangan suami istri tersebut bisa memenuhi kewajiban pendidikan untuk anak.
Pasutri yang berasal dari Dusun Sunggingan, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen ini sudah menekuni usaha tersebut sejak 1987.
Usaha ini diyakini bisa turun temurun.
"Kemungkinan bisa usaha turun temurun."
"Usaha gatot ini usahanya orang berat, beratnya karena dimulai metik singkong, mengupas, memarut, mulai sampai matang prosesnya bisa seharian," ujar Sugimin, dilansir dari TribunSolo.
Istri Sugimin, Tini mengatakan, usaha ini dijalankan karena penghasilan yang didapatkan bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, dengan usaha ini, Tini dan suaminya tidak perlu merantau jauh keluar kota seperti yang biasa dilakukan warga desa pada umumnya.
"Awal menggeluti usaha ini, hasilnya lumayan buat keseharian, buat menyekolahkan anak sudah menjangkau," ujar Tini.
"Kalau cari kerjaan di luar kota enggak bisa ketemu keluarga karena keluar kota."
"Kalau bikin ini bisa sama keluarga," sambungnya.
Baca juga: Tiap Hari Pungut Paku Jalan Kaki, Pak Supri Nangis Dapat Uang di Ember, Pemberi: Tak Lupakan Ibadah
Dengan pundi-pundi rupiah yang terkumpul, Sugimin dan Tini mampu menyekolahkan anak-anaknya, bahkan hingga ke perguruan tinggi.
"Saya punya anak 3, perempuan semua."
"Yang besar kuliah di Poltekes, anak kedua saat ini kelas 3 SMK di Gondang, kemarin habis PKL."
"Anak yang ketiga baru masuk tahun ini di SMK Negeri 2 Sragen," terangnya.
Menurutnya, kedua putrinya itu sudah memiliki rencana ingin melanjutkan kuliah setelah lulus SMK.
"Mintanya lanjut kuliah, bismillah mudah-mudahan bisa," singkatnya.
"Karena sekarang biaya kuliah tidak begitu mahal, dulu sekira Rp6 juta, sekarang mungkin bisa lebih dari Rp6 juta."
"Selisihnya semoga tidak banyak."
"Yang cukup berat mungkin biaya kos, dulu Rp300 ribu, sekarang menjadi Rp600 ribu, belum biaya makan," ujarnya.
Baca juga: Iwan Kaget Dimintai Polantas Uang Damai Rp 250 Ribu karena Mobilnya Belok Kiri: Saya Orang Kampung
Meski begitu, sebagai orangtua, Tini dan Sugimin tidak pernah merasa lelah untuk mengantar anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Tini tidak pernah menabung dengan mengumpulkan uang barang sedikit.
Caranya menyimpan uang dengan merawat ternak, baik kambing atau sapi, dan menggarap sawah.
Jika ada kebutuhan mendesak, mereka bisa menjual kambing atau sapi atau dengan mengandalkan hasil panen.
Sudah produksi selama puluhan tahun, gatot dan kerupuk trowolo buatan Sugimin tidak perlu diragukan lagi.
Salah satu warga, Sugiyono mengatakan, kerupuk trowolo buatan Sugimin ini sebenarnya sama dengan kerupuk trowolo yang lain.
Karena pada dasarnya bahan yang digunakan hanya singkong, tanpa ada tambahan bumbu yang lain.
Namun semakin ke sini, menurut Sugiyono, rasa kerupuk trowolo buatan Sugimin lebih bervariasi.
"Rasa trowolo itu sebenarnya di mana-mana relatif sama, memang khasnya seperti itu, kadang dimodifikasi sedikit dengan tambah bawang,"
"Sugimin ini cenderung kreatif, karena dari sisi usia lebih muda," katanya seperti dilansir dari TribunSolo.com, Rabu (11/9/2024).
Lanjutnya, rasa gatot buatan Sugimin juga tidak kalah enak.
"Soal gatot lebih lentur, karena memang prosesnya semuanya manual, sehingga bisa memaksimalkan kualitas," jelasnya.
Sugiyono yang juga merupakan warga Desa Jambeyan mengetahui bahwa Sugimin sudah lama memproduksi gatot dan kerupuk trowolo.
"Seingat saya sudah generasi kedua Sugimin membuat UMKM gatot dan trowolo ini," singkatnya.
Menurut Sugiyono, kehadiran kerupuk trowolo di acara hajatan yang digelar di Kabupaten Sragen ini sudah seperti sebuah tradisi.
Pasalnya, dulu belum banyak varian kerupuk seperti saat ini.
Karena sudah banyaknya varian kerupuk, beberapa pemilik hajatan kini sudah tidak lagi memakai trowolo.
Bahkan ada sebagian warga Sragen yang menggelar hajatan hanya memberikan roti sebagai bingkisan, karena lebih praktis dan ringkas.
Baca juga: Rela Keliling Jualan Kerupuk sebelum Ngajar, Guru Honorer Pilu Gajinya Tak Mampu Sekolahkan Anak
Sugiyono menambahkan, meski termasuk makanan zaman dulu alias jadul, kerupuk trowolo dan gatot masih eksis hingga sekarang.
Bahkan, gatot masih digemari oleh anak-anak muda, yang hobi nongkrong di warung.
"Kalau ketinggalan zaman menurut saya tidak, karena menurut saya lebih mengedepankan keontetikan."
"Kalau dibilang ketinggalan zaman pasti sudah gulung tidak dari dulu."
"Toh kenyataannya masih eksis walaupun di tengah kreativitas sedemikian rupa menghadirkan aneka cemilan," terangnya.
"Kalau gatot sekarang mungkin konsumsinya tidak seperti dulu, karena memang dari sisi gempuran makanan olahan yang sedemikian rupa,"
"Tapi karena mengandalkan keontetikan rata-rata petani di sawah, itu mereka pilih gatot, karena murah dan bikin kenyang," pungkasnya
Baca juga: Perjuangan Tukang Ojek Sekolahkan Anak sampai Jadi Doktor, Diremehkan Tetangga: Bukan Profesi Hina
Sementara itu, kisah pasangan lainnya yakni Sunaryo (46) bisa kuliahkan 3 anak meski cuma loper koran.
Sunaryo berjuang bersama istrinya, Parni (59), yang sehari-hari berjualan sayur keliling.
Pasangan suami istri ini bisa membuat anaknya sukses.
Mereka ada yang menjadi ahli gizi hingga asisten dokter atau asdok.
Melansir dari Kompas.com, Sunaryo dan Parni merupakan warga Pondok Betung, Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Sehari-hari, Sunaryo dan Parni bekerja menggunakan sepeda untuk berkeliling atau mengantar koran ke rumah pelanggan.
Sunaryo sudah menjadi loper koran sejak usianya 23 tahun.
Sementara, Parni menggeluti pekerjaan sebagai pedagang sayur keliling sejak berumur 15 tahun.
Keduanya kini berhasil menguliahkan ketiga anaknya hingga kini sukses di jalan kariernya masing-masing.
Anak pertama Sunaryo dan Parni bekerja sebagai asisten dokter gigi.
Kemudian, anak kedua mereka bekerja sebagai ahli gizi di Rumah Sakit Harapan Kita.
Lalu, anak terakhir mereka bekerja sebagai apoteker.
Bagi Sunaryo dan Parni, tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat ketiga anaknya sukses seperti saat ini.
"Aku bisanya itu (sekolahkan anak), daripada beli motor, mending pentingkan anak sekolah," kata Sunaryo, Selasa (9/7/2024).
"Enggak punya apa-apa, enggak apa-apa. Yang penting, pendidikan anak sekolah," tambahnya.
Sunaryo dan Parni menyadari, bahwa keberhasilannya menyekolahkan anak-anak hingga pendidikan tinggi tidak terlepas dari bantuan Sang Pencipta.
Menurutnya, Tuhan-lah yang selama ini memberikan ketabahan dan kekuatan selama menyekolahkan ketiga buah hati mereka.
Alasan terbesar Sunaryo dan Parni bertekad besar menyekolahkan ketiga anaknya yaitu agar tidak bernasib sama dengan mereka.
Baca juga: Tiap Hari Jalan Kaki, Romsi Siswa SMA Haru Dapat Sepeda Hasil Iuran 1 Kelasnya, Guru: Kalian Keren
Parni sama sekali tidak pernah mengenyam bangku pendidikan bahkan pada tingkat paling dasar.
Sementara, Sunaryo hanyalah seorang tamatan SD.
"Kalau saya jujur ya, saya orang buta huruf ya, saya enggak sekolah sama sekali," tutur Parni.
"Anak saya bisa sarjana dan sekarang dengan pekerjaannya, saya sujud syukur, Alhamdulillah banget. Saya bangga banget," lanjutnya.
"Aku juga sekolah cuma sampai SD. Jadi, orang enggak sekolah bertemu sama orang enggak sekolah juga," seloroh Sunaryo.
Perjalanan Sunaryo dan Parni menyekolahkan anak tidak terlepas dari cemoohan banyak orang.
Pasutri ini diremehkan karena pekerjaan mereka hanya sebatas loper koran dan pedagang sayur keliling.
Tapi, pasutri ini tidak ingin mengambil hati omongan tersebut sehingga mereka menjalani pekerja dengan ikhlas dan jujur.
"Ibaratnya, dibilang anak masuk sekolah SMP dan SMA nanti utangnya banyak. Ya biarin orang pada bilang, yang penting saya enggak," katanya.
"Biarin saja, Allah yang tahu. Yang penting kita jujur," kata Parni.
"Mirip-mirip kayak gitu, 'cuma jual sayur dan loper koran, bisa apa?'" timpal Sunaryo lagi.
Baca juga: Tekad Perajin Batu Akik di Madura Kuliahkan Anak, Penghasilan Tak Menentu, Ajukan KIP Tak Berhasil
Kesulitan dalam membiayai sekolah anak pernah mereka rasakan.
Beruntung, keduanya mempunyai tetangga yang selalu mendukung hal-hal baik.
"Itu kasih semangat saya, 'ada kemauan pasti ada jalan, ayo'. Kalau anak-anak enggak bisa makan nih, diutangi beras, nanti saya cicil. Atau nanti bayarnya pakai sayuran. Alhamdulillah," ujar Parni.
"Kalau ada kemauan pasti ada jalan. Jadi dia kasih semangat terus, pinjam duit sama saudara saja enggak ada yang percaya. Dia (tetangga) Alhamdulillah mau tolongin. Tapi sekarang dia sudah meninggal," tambah Parni.
Meski sudah dilarang bekerja karena usia, Sunaryo dan Parni tetap mempertahankan pekerjaan mereka.
Bukan karena kebutuhan ekonomi, pekerjaan ini mereka anggap sebagai olahraga untuk memperlancar peredaran darah.
"Aku nih seolah-olah olahraga saja. Kalau jualan, ya untungnya mah enggak seberapa. Kata orang bagus sambil olahraga," kata Sunaryo.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com