TRIBUNJATIM.COM - Kematian dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anastesi Universitas Diponegoro (Undip) sempat menghebohkan publik beberapa waktu lalu.
Dia diduga menjadi korban perundungan sehingga mengakhiri hidup di kamar kosnya.
Kini, Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Undip, Yan Wisnu Prajoko, mengakui penarikan uang ke mahasiswa PPDS.
Jumlah tersebut mencapai Rp40 juta.
Lantas, untuk apa iuran tersebut?
Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com
Baca juga: Ibunda Dokter Aulia Tak Digubris Undip Protes Anak Kerja 24 Jam, Kini Keluarga Laporkan Senior
Yan Wisnu Prajoko mengatakan, praktik perundungan telah terjadi secara sistematis dan kultural.
Tak hanya berupa fisik, perundungan tersebut juga berupa sistem jam kerja hingga kewajiban iuran.
"Kalau perundungan fisik tidak terlalu banyak. Lebih banyak terkait perundungan jam kerja dan iuran," kata dia, dikutip dari Kompas.com, Sabtu (14/9/2024).
Pengakuan ini dilakukan sebulan setelah mahasiswi PPDS Anestesi, dr Aulia Risma Lestari (30) bunuh diri karena dugaan perundungan yang dialaminya.
Lantas, untuk apa iuran wajib sebesar Rp 20-40 juta per semester itu?
Yan mengatakan, ada sekitar tujuh sampai belasan mahasiswa baru yang masih program studi tersebut.
Mereka menyetor uang pungutan itu kepada mahasiswa seniornya selama menjalani PPDS di RSUP dr Kariadi.
"Jadi kalau di anestesi l, di semester 1 mereka per bulan satu orang Rp 20-40 juta untuk 6 bulan pertama. Untuk gotong royong konsumsi, tapi nanti ketika semester 2, nanti gantian yang semester 1 terus begitu, jadi semester 2 tidak itu lagi," ujarnya.
Selain untuk makan, dana iuran tersebut juga digunakan untuk membayar kebutuhan operasional lainnya, seperti menyewa mobil dan membayar kos.
Baca juga: Nasib Dekan FK UNDIP Diberhentikan Sementara, Imbas Kematian Dokter Aulia, Diduga Ada Pemalakan
Ia pun mengaku baru mengetahui adanya iuran itu setelah sejumlah mahasiswa PPDS Anestesi Undip diperiksa polisi terkait dugaan perundungan.
Menurutnya, iuran tersebut diatur internal mahasiswa PPDS Anestesi Undip.
Yan menyebutkan, pihaknya pernah mengeluarkan surat edaran pada Maret 2024 terkait batas maksimal iuran, yaitu senilai Rp 300.000 per bulan atau sekitar Rp 1,8 per semester untuk masing-masing mahasiswanya.
"Saya membatasi maksimum iuran Rp 300.000 per bulan," kata pria yang menjabat dekan FK Undip sejak Januari 2024 ini, dilansir dari Kompas.com, Minggu (15/9/2024).
Ia mengakui tak bisa menghapus budaya iuran tersebut begitu saja, karena sudah dianggap lazim di lingkungan kedokteran.
Selain itu, penarikan uang iuran tersebut juga digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler di luar kegiatan akademik.
"Itu batas toleransi saya, karena pasti ada aktivitas ekstrakurikuler. Kalau di nol kan mereka tidak berekstrakurikuler karena tidak ada dana dari fakultas yang bisa diambil untuk itu," kata Yan.
"Itu hanya edaran batas toleransi aja. Saya tahu (mahasiswa FK) butuh nyanyi, sepak bola. Saya ingin semua prodi tidak ada (iuran). Publik akan nilai tidak tepat," imbuhnya.
Meski sudah ada surat edaran itu, iuran Rp 20 juta-Rp 40 juta per semester bagi mahasiswa PPDS Anestesi masih terjadi.
Menurutnya, iuran mahasiswa baru PPDS Anestesi Undip terbilang besar jika dibandingkan dengan prodi lainnya.
"Di tempat lain mungkin praktiknya ada, tapi sebagian besar sudah mengikuti imbauan saya, di anestesi itu yang agak besar nominalnya," ungkap dia.
FK Undip menegaskan, pungutan puluhan juta rupiah itu termasuk dalam perundungan karena tidak dibenarkan dengan alasan apa pun.
"Saya sampaikan di balik rasionalisasi apa pun orang luar melihatnya kurang tepat, bahkan diksi dipalak, dipungut. Jadi perundungan tidak selalu penyiksaan tapi by operationalnya, konsekuensi dari pekerjaan mereka," tandas Yan.
Sementara itu, Direktur Layanan Operasional RSUP dr Kariadi Mahabara Yang Putra mengatakan, iuran itu harus dipangkas.
Temuan ini harus menjadi evaluasi bagi pihak rumah sakit maupun Undip.
RSUP dr Kariadi Semarang Akui Ada Perundungan Terhadap dr Aulia
Komisi IX DPR RI dan RSUP dr Kariadi Semarang mengakui adanya tindakan perundungan yang dialami dr Aulia Risma Lestari mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip).
Terungkapnya tindakan perundungan tersebut selepas perwakilan Komisi IX DPR RI bertemu dengan sejumlah pengelola RSUP dr Kariadi Semarang.
"Kasus perundungan memang ada, oknumnya siapa sedang dicari," ujar Direktur Operasional RSUP dr Kariadi Semarang, Mahabara Yang Putra kepada Tribunjateng.com, di RSUP dr Kariadi Semarang, Jumat (13/9/2024).
Pihaknya menyebut, oknum tersebut masih dicari melalui penyelidikan kepolisian.
"Oknum itu melakukan perundungan dengan memanfaatkan posisinya."
"Lalu melakukan kekerasan terhadap adik kelasnya," imbuh dr Abba, sapaan keseharian Mahabara Yang Putra.
Baca juga: Nasib Dekan FK UNDIP Diberhentikan Sementara, Imbas Kematian Dokter Aulia, Diduga Ada Pemalakan
Selepas ditemukannya adanya perundungan, dr Abba mengungkapkan pihaknya akan melakukan evaluasi dari proses seleksi yang dilakukan bersama instansi pendidikan.
Terkait penghentian sementara PPDS Anestesi Undip di RSUP dr Kariadi Semarang, dia menyebut jika hal itu dilakukan agar kepolisian dapat melakukan penyelidikan secara optimal tanpa bias.
"Dihentikan sampai kapan?"
"Ya sampai kepolisian menemukan siapa yang melakukan perundungan," jelasnya.
Pihaknya pun menjamin selama proses penghentian sementara tak akan menganggu proses pelayanan rumah sakit.
"Ada lebih dari 20 dokter spesialis (anestesi) dilihat jumlah kamar dan jam shift masih cukup," ungkapnya.
Begitupun soal penghentian praktik sementara Dekan Fakultas Kedokteran Undip dr Yan Wisnu Prajoko di RSUP dr Kariadi Semarang.
Pihak rumah sakit melakukan hal itu untuk kepentingan penyelidikan kepolisian.
"dr Yan itu menjabat dua posisi penting sebagai dekan dan dokter di RSUP dr Kariadi Semarang."
"Jadi biar tidak ada konflik kepentingan dan penyelidikan polisi berjalan lancar, maka praktiknya dihentikan," ujar dr Abba.
Selain itu, Abba membantah soal adanya kerja overtime yang dialami mahasiswa PPDS.
Pihaknya mengatakan, istilah 24 jam merupakan pelayanan seperti IGD.
Artinya, mahasiswa PPDS tidak bekerja selama 24 jam, hanya pelayanan.
"Tidak ada itu kerja overtime."
"Namun akan kami evaluasi antara jam belajar dengan jam pelayanan PPDS," bebernya.
Sementara, Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani mengatakan, perundungan memang menimpa dr Aulia Risma Lestari.
Pihaknya meminta Undip dan RSUP dr Kariadi Semarang mengakui hal tersebut.
"Tidak boleh saling lempar."
"Harus diselesaikan masalah ini secara bersama-sama demi kebaikan lembaga pendidikan dan rumah sakit," terangnya.
Irma pun meminta para dokter tidak bersikap elitis dan esklusif agar akar persoalan ini dapat diselesaikan.
Menurut dia, sikap elitis dari para dokter inilah yang menyebabkan persoalan ini tak kunjung ketemu ujung pangkalnya.
"Para dokter eletis sekali, jadi tutup menutupi, tidak ada satupun persoalan di kedokteran yang selesai karena mereka saling tutup menutupi," katanya.
Dia menambahkan, pertemuan ini bakal dibawa ke rapat Komisi IX DPR RI.
"Rencana kami ada pemanggilan kepada pihak RSUP dr Kariadi dan Undip Semarang," bebernya.
----
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dan TribunJateng.com
Berita Jatim dan berita viral lainnya.