Laporan Wartawan TribunJatim.com, Luhur Pambudi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Eks Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor mengamuk kepada bekas anak buahnya, Ari Suryono eks Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo, karena dituduh otaki dugaan korupsi pemotongan dana insentif para ASN BPPD Sidoarjo, hingga menyebabkan kerugian negara Rp8,5 miliar.
Pada sidang lanjutan di Ruang Sidang Candra Kantor PN Tipikor Surabaya, Senin (7/10/2024) itu, Ari Suryono menjadi saksi yang didatangkan JPU KPK.
Kesaksian Ari Suryono menjawab cecaran pertanyaan JPU KPK dan penasehat hukum (PH) terdakwa, Mustofa Abidin dan rekannya, selama hampir 3,5 jam berlangsungnya persidangan, dibantah habis-habisan oleh Gus Muhdlor.
Gus Muhdlor dengan nada suara yang agak meninggi menolak kesaksian Ari Suryono yang cenderung merekonstruksikan opini bahwa kejahatan rasuah tersebut diotaki oleh dirinya.
Padahal, ia sama sekali tidak pernah datang dan masuk ke dalam Kantor BPPD Kabupaten Sidoarjo, apalagi sampai memimpin rapat secara internal dan tertutup untuk bersekongkol menjalankan praktik lancung itu.
Baca juga: Suasana Persidangan Gus Muhdlor, Diwarnai Gemuruh Tepuk Tangan Pengunjung, Hakim Geram
Gus Muhdlor membalut amarahnya itu melalui rentetan cecaran pertanyaan yang disampaikan kepada Ari Suryono, setelah diberikan kesempatan oleh Majelis Hakim dipenghujung sesi pemeriksaan saksi tersebut.
Ia bertanya mengenai keberadaan surat keputusan (SK) praktik pemotongan dana insentif ASN tersebut, kepada Ari Suryono.
"Soal SK. Pernah gak, proses pembuatan SK itu saya ikut," tanya Gus Muhdlor, saat memanfaatkan sesi pemberian tanggapan, tinjauan dan bantahan atas keterangan saksi.
Baca juga: Gus Muhdlor Kecipratan Uang Pemotongan Insentif ASN, Dipakai Menggaji Honorer hingga Tebus Belanjaan
Ari Suryono menjawab, "tidak pernah."
Gus Muhdlor kembali mencecar dengan pertanyaan susulan secara cepat, "apakah saya masuk Kantor BPPD Sidoarjo?"
Ari Suryono menjawab, "tidak pernah."
Gus Muhdlor melanjutkan pertanyaannya kembali, "Apakah saya memimpin rapat di BPPD Sidoarjo?"
Ari Suryono menjawab, "tidak pernah."
Baca juga: BREAKING NEWS : Potret eks Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Jalani Sidang Kasus di Pengadilan Tipikor
Lalu, Gus Muhdlor kembali bertanya mengenai kepastian pemotongan 30 persen dana insentif dari para ASN BPPD Kabupaten Sidoarjo.
"Pernah gak saya merintah (pemotongan) 30 persen dari orang-orang," tanya kembali Gus Muhdlor kepada Ari Suryono.
Ari Suryono menjawab, "tidak pernah."
Seraya menjelaskan kepada majelis hakim, Gus Muhdlor berdalih tidak mengetahui adanya dana yang diberikan kepada dirinya sekitar Rp50 juta, hingga mencapai Rp700 juta, dari praktik pemotongan dana insentif ASN BPPD Sidoarjo.
Hingga akhirnya Gus Muhdlor bertanya mengenai kegunaan uang tersebut. "Saya kaget juga kok sampai Rp50 juta padahal ada sampai Rp700 juta Apakah anda tahu uang Rp50 juta itu saya nikmati."
Baca juga: Subandi Ditunjuk Jadi Plt Bupati Sidoarjo Pasca Gus Muhdlor Diamankan KPK, Sudah Terima SK
Kemudian, Ari Suryono menjelaskan, Gus Muhdlor secara tidak langsung antar 'tangan' atau antar 'transfer rekening' menggunakan uang Rp50 juta pemberiannya.
Namun, nyatanya, uang tersebut dapat menggaji para karyawan non-PNS di lingkungan Pemkab Sidoarjo yang ditugaskan sebagai pengawal pribadi (walpri) Gus Muhdlor yang menjabat sebagai bupati kala itu.
"Karena itu untuk walpri, pak bupati enggak pernah," jawab Ari Suryono.
Baca juga: Harta Kekayaan Bupati Sidoarjo, Gus Muhdlor Kini Ditetapkan KPK Jadi Tersangka Korupsi
Lalu, Gus Muhdlor kembali menanyakan pertanyaan mendasar mengenai asal dari perintah pemotongan dana insentif tersebut hingga akhirnya berperkara sampai ke meja hijau.
"Apakah pernah saya memerintah untuk potong (insentif)?"
Ari Suryono lantas menjawabnya, "enggak. Dari sebelum saya jabat, itu (pemotongan insentif) sudah ada."
Mengenai pembayaran tagihan beacukai karena barang belanjaannya selama umrah tertahan. Gus Muhdlor mempertanyakan keterangan Ari Suryono mengenai proses pembayaran tersebut dilakukan atas dasar perintah anah buahnya; ajudan, Diksa atau karena inisiatif pribadi Ari Suryono.
"Soal pajak beacukai. Atas inisiatif sendiri atau Diksa?"
Ari Suryono menjelaskan permintaan pembayaran terhadap pihak beacukai tersebut merupakan permintaan Diksa dengan dalih karena tidak sedang membawa uang.
"Atas permintaan Pak Diksa. Pak Diksa gak bawa uang, jadi pakai uang saya dulu untuk menyelesaikan," jawab Ari Suryono.
Kemudian, Gus Muhdlor bertanya soal uang Rp300 juta yang digunakan untuk membeli makanan bagi ribuan jamaah di sebuah acara ormas.
"Pernah gak saya maksa kamu untuk sediakan Rp300 juta," tanya Gus Muhdlor.
Lalu dijawab oleh Ari Suryono, bahwa pernyataan tersebut merupakan imbauan semata yang disampaikan tanpa menyebutkan nominal jumlah angka.
"Kalau jumlah besar uang enggak. Tapi imbauan aja," jawab Ari Suryono.
Lalu, pertanyaan pemungkas Gus Muhdlor, "Apakah setiap selesai membayar semua itu, apakah Pak Ari konfirmasi lagi ke saya?"
Ari Suryono lantas menjawabnya, "tidak pernah."
Sementara itu, JPU KPK Andry Lesmana mengatakan, Terdakwa Gus Muhdlor menerima uang pemberian dan praktik lancung yang dilakukan Ari Suryono dan Siska Wati sebanyak Rp50 juta per bulannya.
Uang tersebut digunakan oleh Gus Muhdlor untuk kepentingan pribadi seperti membayar anah buahnya yang non-PNS, pembayaran pajak kebutuhan pribadi, dan kampanye.
"Kan ternyata memang ada dari hasil pemotongan bantuan bulanan dana tambahan Rp50 juta, dan kebutuhan lain seperti halnya untuk sumbangan kampanye Rp100 juta, ada juga untuk pajak, dan bisa dilihat di fakta sidang," ujarnya di depan ruang singgah JPU.
Andry Lesmana mengaku tak bergeming meskipun Gus Muhdlor membantah habis-habisan kesaksian Ari Suryono.
Karena, pada sebuah poin pembahasan mengenai momen pembayaran tagihan barang belanjaan Gus Muhdlor sepulang umrah yang ditahan Beacukai, terdapat pernyataan tak logis dari Gus Muhdlor yang berdalih tidak meminta menyelesaikan pembayaran pajak tersebut.
Padahal, lanjut Andry Lesmana, barang yang tertahan tersebut merupakan milik Gus Muhdlor sehingga mustahil tidak mengetahui adanya kewajiban mengenai pembayaran pajak itu.
"Kalau misalkan suatu hal ada kewajiban, kita melihat; itu barangnya siapa. Apakah barangnya Pak Ari. Nah itu barang kepunyaan Pak Bupati secara sadar harus tahu kewajibannya untuk melakukan pembayaran, apakah dia pernah tanya ke Diska; berapa biayanya," pungkasnya.