TRIBUNJATIM.COM - Di tengah ramai kasus tiga siswa dipulangkan sekolah karena SPP nunggak Rp42 juta, hadir kisah sekolah yang justru berbanding terbalik.
Sejak berdiri 24 tahun yang lalu, sekolah ini justru tak pernah memungut SPP kepada para siswanya.
Uniknya, guru melamar untuk mengajar di sekolah tersebut tak diminta surat lamaran atau CV (curriculum vitae).
Melainkan, guru hanya diminta menyanyikan lagu Bagimu Negeri.
Bahkan tiga tahun belakangan, sekolah ini juga menghapuskan biaya pembangunan sekolah.
Siswa hanya dikenakan biaya masuk, seragam dan ujian yang jumlahnya minim sekaligus dapat dicicil.
Baca juga: Ibu Hancur 3 Anaknya Dipulangkan Sekolah Imbas SPP Nunggak Rp42 Juta, Batal Wisuda Meski Berprestasi
Adapun sekolah tak pernah pungut SPP tersebut terletak di Desa Senoni, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim).
Sekolah tersebut menyimpan kisah perjuangan dan dedikasi untuk pendidikan.
Sekolah itu ialah SMA Nurulyaqin Sebulu.
SMA Nurulyaqin Sebulu terletak di sekitar 30 kilometer dari ibu kota Kukar, Tenggarong
SMA tersebut hadir bak oase di tengah keterbatasan.
Bagaimana tidak, sekolah itu memberikan pendidikan tanpa menarik sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sejak berdiri pada 2000.
Seiring perjalanan waktu, sekolah swasta yang berada di bawah naungan yayasan ini menjadi saksi bisu perjuangan ratusan anak untuk meraih masa depan di tengah kekurangan.
Di bawah langit Sebulu, sekolah ini mungkin tak terlihat seperti lembaga pendidikan impian.
Dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan bangku reyot, sekolah ini menjadi rumah belajar bagi 90 siswa.
Hanya ada tiga bangunan kelas, kecil dan sederhana.
Namun, para siswa di sini terus belajar.
Berharap setiap pelajaran bisa menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih baik.
Rustam, guru yang mengabdi sejak 2008, menceritakan dengan mata berkaca bagaimana gedung sekolah ini berdiri.
Berkat hibah tanah dari PT Ichi dan bantuan Pemerintah Kabupaten Kukar, bangunan ini akhirnya terwujud pada 2001.
Ini setelah mereka menumpang di bangunan sekolah dasar yang ditinggalkan.
“Ini semua untuk anak-anak agar bisa terus belajar,” ujarnya saat berbincang dengan Tribun Kaltim, dikutip dari Banjarmasin Post.
Tidak hanya bangunan sekolah yang penuh keterbatasan, para gurunya juga menghadapi kehidupan yang tak kalah sulit.
Rustam dan rekan-rekannya mengajar dengan penghasilan yang sering kali tertunda hingga enam bulan.
Baca juga: 3 Siswa Dipulangkan karena SPP Nunggak Rp42 Juta Awalnya Sekolah Gratis, Ibu Masih Keluarga Yayasan
Mereka menjalani dua sesi mengajar setiap hari, dari pagi hingga sore, tanpa upah yang memadai.
Namun, Rustam mengaku tak sanggup meninggalkan anak-anak didiknya.
“Tak kuasa rasanya jika harus meninggalkan mimpi mereka hanya karena kesejahteraan,” katanya.
Saat pertama kali melamar menjadi guru di SMA Nurulyaqin Sebulu, Rustam mengenang momen yang mengubah hidupnya.
Ia tak diminta menyodorkan berkas berlembar-lembar, hanya diminta untuk menyanyikan lagu "Bagimu Negeri".
Lagu itu masih terngiang di telinganya.
Mengingatkannya pada janji yang ia pegang teguh untuk mengabdi.
“Di sekolah ini, lagu itu menjadi inspirasi dan kekuatan bagi kami para guru,” ucapnya.
SMA Nurulyaqin Sebulu tetap teguh pada prinsip yang dijanjikan pendiri yayasan bersama Bupati Kukar kala itu, Syaukani Hasan Rais atau yang karib disapa Pak Kaning.
Tidak akan ada SPP yang dibebankan kepada para siswa.
Baca juga: Jawaban Ketus Bos Yayasan SD saat Pulangkan Paksa 3 Siswanya Nunggak SPP Rp42 Juta, Ibu Nangis
Kini komitmen ini menjadi nyawa yang dijaga meskipun kedua tokoh tersebut telah tiada.
Untuk meringankan beban keluarga siswa, dalam tiga tahun terakhir, sekolah ini bahkan telah menghapuskan biaya pembangunan.
Sumber operasional hanya bergantung pada Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
Dana itu yang diolah dengan cermat untuk memenuhi kebutuhan harian sekolah.
“Kami tetap berkomitmen untuk menjaga janji ini,” tegas Rustam.
Siswa hanya diminta untuk membayar biaya masuk, seragam dan ujian yang jumlahnya minim dan dapat dicicil.
Meski SMA Nurulyaqin Sebulu jauh dari kemewahan fasilitas, semangat para guru dan siswa tak pernah pudar.
Mereka tetap berupaya memberikan pendidikan terbaik bagi para siswa.
Kegiatan ekstrakurikuler seperti sepak bola, pramuka, dan Siswa Pecinta Alam (Sispala) tetap berjalan.
Bahkan di tengah segala keterbatasan, prestasi demi prestasi berhasil mereka raih, menjadi bukti bahwa tekad kuat dapat mengatasi segala keterbatasan.
“Kami di sini memang sederhana, tetapi anak-anak tetap bisa berprestasi,” ucap Rustam bangga.
Di SMA Nurulyaqin Sebulu, pendidikan bukan sekadar soal fasilitas.
Lebih dari itu, sekolah ini menjadi simbol harapan dan dedikasi.
Di tengah kesederhanaannya, SMA Nurulyaqin Sebulu tetap berdiri, menorehkan kisah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik bagi semua anak yang ingin belajar.
Kisah lainnya di dunia pendidikan yang sempat viral, ada seorang guru ikhlas digaji Rp200.000.
Ia adalah guru honorer bernama Wiga Kurnia Putri (27).
Wiga merupakan guru honorer di sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Sejak 2021, Wiga mengajar mata pelajaran IPS dan PKN di sekolah yang berada di dekat rumahnya.
Wiga menceritakan pilihannya menjadi seorang pendidik.
Ia mengaku memilih jalan hidup sebagai pengajar karena prihatin dengan kondisi sekolah di daerahnya.
Menurut Wiga, sekolah tempat ia mengajar hanya memiliki 40 murid dengan 4 guru dan satu kepala sekolah.
Wiga pun menyadari dan tahu konsekuensi gaji yang ia terima tidak banyak saat memilih mengajar di sekolah tersebut.
"Sekolah tempat saya mengajar antara ada dan tiada. Padahal sekolahnya sudah lama, bahkan kakek saya dulu mengajar di sini. Papa saya dan keluarganya juga sekolah di sini," katanya.
"Saya tahu sejak awal gajinya Rp200.000. Enggak kaget karena memang jumlah siswanya minim," lanjut Wiga.
Baca juga: Siapa Sosok Kombes Moch Sholeh? Disebut Penyelamat Guru Supriyani Tak Jadi Ditahan Kasus Anak Polisi
Wiga merintis karier sebagai pengajar bermula ketika dirinya menyelesaikan pendidikan SMA di Kabupaten Banyuwangi.
Awalnya Wiga memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus dua anak.
Hingga akhirnya seorang kerabat yang melihat pendidikan Wiga, menawarkannya pekerjaan sebagai pengajar di SMP swasta di dekat rumahnya.
Menurut Wiga, di sekolah tersebut statusnya adalah guru honorer dan datanya tidak masuk dalam data pokok pendidikan (dapodik).
"Jika disebut relawan mengajar, ya bisa juga," kata ibu dua anak tersebut, melansir Kompas.com.
Saat pertama mengajar, Wiga mengaku kondisi sekolahnya sangat memperihatinkan karena sarana dan prasarana yang jauh dari kata layak.
"Kelas yang bisa digunakan hanya satu, jadi bergantian. Termasuk kursi-kursinya juga banyak yang rusak."
"Kalau hari pendek, ada yang belajar di kelas, di ruang guru dan perpustakaan," ujarnya.
Menurut Wiga, sebelum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), biasanya SMP akan memperkenalkan sekolahnya di SD-SD sekitar.
Namun tidak untuk sekolah tempat Wiga mengajar.
Saat PPDB berlangsung, dia akan mencari anak yang putus sekolah agar bisa melanjutkan pendidikan di tempatnya mengajar.
"Pertama kali mengajar, saya ajak anak tetangga. Saya datangi satu per satu agar mereka mau sekolah. Saya bilang enggak usah bayar seragam, enggak usah bayar apa-apa. Untuk SPP bisa bayar semampunya. Mau Rp 10.000, mau Rp 5.000 tidak masalah. Yang penting anak-anak mau sekolah," papar Wiga.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com