Toto menambahkan, penggunaan subsidi silang ini bisa diterapkan lantaran kebutuhan gizi dan porsi makan anak-anak dari setiap jenjang pendidikan berbeda.
Ia memberikan contoh, anak-anak SD bisa saja cukup dengan anggaran Rp 5.000 hingga Rp 7.500, mengingat porsi makan mereka lebih kecil dibandingkan siswa SMP atau SMA/SMK.
Kelebihan anggaran dari porsi siswa SD tersebut, lantas dapat dialokasikan untuk menutupi kebutuhan gizi siswa di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
"Jadi saya sampaikan, jika anggaran Rp 10.000 dilihat untuk per orang, maka tidak cukup. Tapi kalau Rp 10.000 untuk banyak anak, misalnya 100 atau 200 anak, maka itu cukup. Karena pakai subsidi silang itu bisa mendukung satu sama lain," sambung dia.
Toto mengaku dirinya pernah mempraktikkan penerapan subsidi silang tersebut.
Menurut dia, hasilnya menunjukkan anggaran Rp 10.000 bisa mencukupi program makan bergizi, asalkan pengelolaannya tepat.
"Sudah pernah saya coba di sebuah panti (asuhan) dan dikelola dengan baik, Rp 10.000 itu cukup untuk memenuhi gizi. Karena programnya Prabowo itu jauh lebih baik, sesungguhnya. Kalau dihargai berapa pun jumlahnya itu akan cukup," tambah dia.
Menurut Toto, dengan alokasi anggaran Rp 10.000 per porsi, anak-anak masih bisa mendapatkan protein, sayur, buah, dan nasi.
Baca juga: Kelaparan Tunggu Gibran Bagi Makan Siang Gratis di Sekolah, Habibi Nyaris Pingsan: Belum Sarapan
Toto memberikan contoh, misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), siswa sekolah bisa mendapatkan nasi, ikan (75-100 gram), sayur, buah (pepaya/nanas).
Sementara itu, Guru Besar Pangan dan Gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Ali Khomsan menyarankan agar pemerintah memfokuskan anggaran Rp 10.000 per porsi pada penyediaan lauk pauk bergizi.
Menurut dia, konsep ini lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dibandingkan menyediakan menu lengkap.
"Menurut saya sebaiknya dialokasikan khusus untuk lauk pauk (telur, daging ayam, atau susu secara bergantian), sebab bila berupa makan lengkap anggaran Rp 10.000 terlalu mepet," ujarnya dalam wawancara terpisah.
Ali menambahkan, kebutuhan nasi dan sayur sebenarnya dapat diusahakan oleh keluarga, terutama bagi masyarakat ekonomi rendah.
Fokus utama pemberian makanan bergizi gratis diarahkan pada lauk hewani yang cenderung mahal dan sering kali sulit diakses oleh keluarga kurang mampu.
"Biasanya dari kalangan ekonomi rendah defisit lauk hewani (karena dianggap mahal). Dengan anggaran yang tidak terlalu besar, kita bisa mengalokasikan sesuai proporsi dan prioritas jenis makanan yang sangat dibutuhkan, khususnya oleh kalangan kurang mampu," kata dia.
Ia memberikan gambaran dengan anggaran Rp 10.000 per porsi, anak-anak bisa mendapatkan satu telur dan satu susu, atau alternatif lain seperti satu potong daging ayam atau ikan berukuran sedang.
Menurut Ali, alokasi yang terfokus pada sumber protein hewani ini dapat memberikan dampak signifikan pada pemenuhan gizi masyarakat.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com