"Kami berharap agar kegiatan pengangkutan barang untuk ekspor dan impor tidak dibatasi. Biaya ekspor-impor sangat tinggi, dan pembatasan operasional justru memperburuk situasi," tambah Wayan.
Tak hanya itu, pihaknya meminta agar pembatasan operasional angkutan barang kembali ke sistem sebelumnya, yakni H-3 dan H+3 Lebaran. Kebijakan ini dianggap lebih adil dan tidak memberatkan para pengusaha.
APTRINDO juga mengusulkan agar pemerintah melibatkan asosiasi pengusaha angkutan dalam setiap pembahasan kebijakan yang berkaitan dengan angkutan barang.
"Sebelum kebijakan seperti SKB diterbitkan, kami berharap ada dialog dengan pihak pengusaha angkutan agar dapat menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak," tegasnya.
Sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini, APTRINDO akan mengambil langkah tegas dengan menghentikan operasi kendaraan angkutan barang mulai 20 Maret 2025 hingga masa pembatasan selesai pada 8 April 2025.
Langkah ini akan melibatkan sekitar 2.000 truk yang beroperasi di pelabuhan dan 1.000 truk angkutan antar kota.
Selain itu, DPP APTRINDO berencana untuk mengadakan audiensi dengan DPR RI untuk menyampaikan keluhan mengenai kebijakan yang dianggap memberatkan pengusaha angkutan. APTRINDO juga akan mengajukan surat kepada
Presiden agar setiap regulasi yang akan dibuat terkait angkutan barang melibatkan masukan dari asosiasi pengusaha, guna memastikan kebijakan yang lebih bijaksana dan tidak merugikan pelaku usaha.
Menurut perhitungan APTRINDO, kebijakan pembatasan operasional ini menyebabkan kerugian hingga Rp 600 juta bagi anggota asosiasi.
Kerugian tersebut mencakup biaya operasional truk yang terhenti, biaya logistik yang membengkak, serta dampak terhadap pengiriman barang yang tertunda.