Menggunakan linggis, ia menghantam kepala Sri tanpa ampun, mengakhiri hidup seorang wanita yang hanya ingin haknya dikembalikan.
Hilangnya Nyawa, Hilangnya Kemanusiaan
Sri dikenal sebagai wanita yang baik hati dan ramah.
Para tetangga mengingatnya sebagai sosok yang tak segan membantu, meski hidup seorang diri.
“Bu Sri orangnya ramah, sering berbagi makanan dengan kami,” ujar salah satu tetangganya dengan mata berkaca-kaca.
Namun, kebaikan hatinya justru berujung pada tragedi.
Hutang yang mungkin hanya bernilai jutaan rupiah kini harus dibayar dengan nyawa.
Rasa sakit hati yang dibiarkan membesar telah menghapus nurani, membutakan logika, dan membawa pelaku ke dalam lingkaran kejahatan yang tak termaafkan.
Polisi pun menegaskan bahwa tak ada tempat bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi.
"Kami tidak memberikan ruang kepada pelaku kejahatan dan akan kami tangkap. Hubungi 110 jika membutuhkan bantuan polisi,” tambah Ade Ary.
Pelajaran dari Tragedi
Kematian Sri Suherti menjadi pengingat bahwa dendam dan emosi sesaat bisa membawa petaka.
Banyak orang menganggap utang sebagai perkara sepele, padahal bagi yang memberi pinjaman, itu bisa menjadi beban yang harus diperjuangkan kembali.
Ketika kejujuran dan tanggung jawab hilang, maka kehancuran bisa menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.
Kini, pelaku harus menghadapi hukuman setimpal.
Namun, yang tak bisa dikembalikan adalah nyawa seorang wanita yang seharusnya masih bisa menikmati hari tuanya dengan damai.
Sakit hati memang manusiawi, tapi membiarkannya menguasai diri bisa menjadi malapetaka yang merenggut segalanya.
Artikel ini telah tayang di TribunJateng.com