TRIBUNJATIM.COM - Sosok guru honorer bernama Agus Hermanto (36) yang mengajar di pelosok Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, tengah mencuri perhatian.
Pasalnya, perjuangan Agus Hermanto dalam dunia pendidikan meski dirinya hanya guru honorer, patut diapresiasi.
Tak tanggung-tanggung, ia rela menjemput muridnya agar mau sekolah.
Baca juga: Sopir Truk Diminta Bayar Parkir Rp25000 Padahal Aslinya Rp7000, 1 Pelaku dari Dishub Kini Ditangkap
Diketahui, Agus mengajar anak-anak di SMP 3 Satu Atap Wongsorejo, Dusun Pringgondani, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, sebuah kampung di pinggir kawasan hutan.
Sejak tahun 2009, Agus mengajar dengan status honorer di usia masih muda.
Dengan segala keterbatasan yang ada, ia tetap lulus dan meneguhkan hatinya tetap memilih jalan pengabdian sebagai guru.
Agus mengatakan, menurutnya menjadi guru bukan hanya soal mengajar.
Namun lebih kepada menjadi motivator, penggerak, sekaligus penjaga mimpi bagi anak-anak di daerah pelosok.
"Pagi masuk kelas saya tidak langsung mengajar, ada sesi dialog dahulu," ungkap Agus mengawali ceritanya, Senin (5/5/2025), dikutip dari Kompas.com.
"Bertanya apa kabarnya, bagaimana semangatnya, dan apakah ada kendala. Setelah itu baru pelajaran," imbuhnya.
Agus pun menceritakan perjuangannya berkali-kali mendatangi rumah-rumah warga untuk membujuk orang tua agar mengizinkan anaknya bersekolah.
Tidak jarang, ketika ada siswa yang tidak masuk saat ujian, ia akan menjemputnya sendiri.
Agus bahkan sampai membangunkan, menunggu hingga mandi, lalu membonceng siswa dengan motor ke sekolah.
"Ngajar di pelosok itu capek, tapi begitu lihat anak-anak semangat belajar, hati ini rasanya hangat. Capeknya hilang," kata Agus.
Agus juga kerap mendoktrin anak-anak pedesaan agar tidak minder dengan kilauan kota.
Justru dari desa, Agus menyatakan, harapan tidak pernah sirna.
Perjuangan Agus pun menarik perhatian Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, yang mengunjunginya secara langsung ke rumah sang guru dan memberikan hadiah laptop.
Ipuk berharap laptop tersebut bisa dimanfaatkan dengan baik.
"Terima kasih atas kunjungan Ipuk. Laptop ini akan saya manfaatkan untuk mengakses referensi, dan menjangkau dunia pendidikan yang lebih luas," tutur Agus.
Bupati Banyuwangi menuturkan, Agus adalah sebuah potret ketulusan.
Ia memuji Agus yang masih muda tetapi pengabdiannya luar biasa.
Karena setiap harinya, Agus harus terbiasa melintasi jalanan berbatu dan menanjak, menempuh medan sulit untuk satu tujuan, memastikan tidak ada anak desa yang putus sekolah hanya karena kendala biaya atau letak geografis.
"Di saat banyak orang seusianya mencari kenyamanan kerja, dia justru memilih tetap bertahan di daerah terpencil," ujar Ipuk.
Baca juga: SPBU Disegel Pasca Tolak Isikan Pertalite & Pilih Layani Pembeli Bawa Jeriken: Orang Miskin Begini
Menurutnya, perjuangan Agus bukan hanya soal mengajar, tapi soal menyalakan harapan.
Guru muda tersebut adalah teladan yang patut diapresiasi atas dedikasinya dalam mengabdi.
Dari cerita Agus, Ipuk akan lebih mengoptimalkan berbagai program daerah untuk anak-anak putus sekolah.
Salah satunya dengan Gerakan Daerah Angkat Anak Muda Putus Sekolah (Garda Ampuh).
Garda Ampuh berfokus menjaring anak putus sekolah dan membantunya kembali ke bangku sekolah melalui berbagai skema.
"Kami sangat mengapresiasi dan berterima kasih atas dedikasi Mas Agus."
"Kami juga kian semangat untuk menjalankan berbagai program pendidikan, utamanya pengentasan anak putus sekolah," katanya.
Baca juga: Liciknya Jan Hwa Diana Beroperasi Diam-diam Meski Gudang UD Sentosa Seal Disegel, Bermodal Surat PLN
Kisah inspiratif lainnya datang dari seorang guru bernama Feri.
Meski jalan berlumpur, guru ini tetap melanjutkan perjalanan ke sekolah demi mengajar, bahkan tak jarang menginap di sekolah.
Pukul enam pagi, saat sebagian orang masih menyeduh kopi hangat, Feri sudah mengenakan helm dan menyalakan motornya.
Dari rumahnya di Martapura, ia menempuh perjalanan sejauh 35 kilometer menuju SDN 3 Jayapura, tempatnya mengajar.
Saat musim kemarau, waktu tempuh sekitar satu setengah jam.
Namun ketika musim hujan datang, perjalanan bisa memakan waktu lebih dari dua jam, bahkan tak jarang lebih lama lagi.
Penyebab utamanya adalah jalan rusak parah yang membentang dari Dusun Talang Durian, Desa Mendah, Kecamatan Jayapura, hingga ke sekolah.
"Kalau hujan, jalan jadi lumpur. Mobil-mobil bisa terjebak berhari-hari. Orang sini menyebutnya 'jalan tauhid', karena siapa pun yang lewat situ pasti ingat Allah terus, istighfar sambil dorong kendaraan," ujar Feri sambil tertawa kecil, Jumat (2/5/2025), dikutip dari Sripoku.
Medan yang ia lalui tidak hanya berlumpur, tetapi juga berbatu, bergelombang, dan melintasi kebun karet serta ladang jagung.
Pemukiman pun jarang dijumpai di sepanjang jalan tersebut.
Feri pernah mengalami ban pecah, rantai putus, busi motor rusak, hingga kehabisan bensin.
"Saya pernah dorong motor berkilo-kilo meter buat cari bengkel," kenangnya.
Namun, tantangan tersebut tak pernah membuatnya menyerah.
Sejak pertama mengabdi sebagai guru honorer pada 2009, semangatnya untuk mendidik anak-anak di pelosok tak pernah luntur.
Sejak Agustus 2024, ia resmi menjadi guru tetap di SDN 3 Jayapura OKU Timur.
Tak jarang, demi menghemat bahan bakar dan menghindari risiko rusaknya motor di jalan, Feri memilih bermalam di sekolah.
Waktu luangnya ia manfaatkan untuk memberikan les Bahasa Inggris gratis kepada siswa-siswi SDN 3 Jayapura Vila Masin.
"Anak-anaknya semangat luar biasa. Itu yang bikin saya terus semangat juga," ujarnya.
Feri juga menanamkan nilai hidup mandiri dan kewirausahaan.
Ia memprakarsai kebun sekolah berukuran 4x5 meter yang ditanami kangkung.
Hasil panennya dijual ke warga sekitar dan keuntungannya disimpan dalam kas kewirausahaan sekolah.
"Sayur sangat langka di sini. Kebanyakan warga tanam karet. Kalau mau beli sayur harus ke pasar yang jauh," kata Feri.
Kebun itu pun menjadi sarana edukasi untuk mengenal berbagai jenis tanaman dan cara menanamnya.
Ia berharap upaya ini bisa menumbuhkan kecintaan anak-anak terhadap sayur dan gaya hidup sehat.
Baca juga: Tangis Ibu Memohon Agar Anaknya Dimasukkan ke Barak Militer, Dedi Mulyadi: Katanya Melanggar HAM
Namun di balik berbagai upaya yang dilakukan, masih banyak keterbatasan yang menghimpit.
Dua ruang kelas di SDN 3 Jayapura masih berdinding papan.
Kondisi ini menjadi perhatian serius bagi Feri.
"Masih ada dua kelas papan di sekolah kami," katanya lirih, berharap ada perhatian dari pemerintah.
Bagi Feri, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, melainkan misi hidup.
Satu hal yang paling ia dambakan adalah perbaikan jalan menuju sekolah.
Ia yakin infrastruktur yang baik akan menjadi pintu bagi akses pendidikan yang lebih layak dan peningkatan ekonomi warga.
"Kalau jalannya baik, anak-anak tidak telat sekolah, ekonomi warga bisa tumbuh. Semua akan lebih baik," pungkasnya.