MMH merasa uang yang diperolehnya dari bekerja sebagai penjaga warung buah di Pasar Kalitanjung Kota Cirebon tidak cukup untuk membiayai pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kota Cirebon.
"Korban depresi karena kemiskinan, dia tidak bisa melanjutkan SMA-nya. Dia sudah berusaha menjadi pelayan dan penjaga toko buah, tetapi upahnya tidak mencukupi karena dia hanya mendapatkan Rp 20.000 per hari," jelas Faozan, yang juga Ketua Asosiasi Advokat Indonesia Cirebon Raya.
Pendaftaran SMA yang diinginkan MMH sudah dekat dan ia merasa cemas akan segera tutup.
Pikiran yang berlebihan membuatnya stres, sehingga ia mencari jalan pintas dengan menenggak cairan pembersih untuk mengakhiri hidupnya.
Faozan menilai kondisi ini sangat ironis dan memprihatinkan.
Baca juga: ASN Depresi usai Dituduh Polisi Curi Ponsel, Warga Langsung Geruduk dan Bakar Mapolsek
Anak berprestasi
MMH adalah anak berprestasi yang merupakan santri putri di salah satu Pondok Pesantren di Kota Cirebon.
Ia dikenal pandai berpidato dalam Bahasa Inggris dan memiliki kemampuan akademis yang baik.
MMH lulus dari pondok pesantren dan sempat bersekolah di salah satu SMA di Kecamatan Tengah Tani Kabupaten Cirebon pada tahun 2024.
Namun, aktivitas belajarnya terhenti karena keterbatasan biaya.
Faozan menambahkan bahwa bapak MMH tidak mampu membiayai pendidikan anaknya karena bekerja sebagai buruh.
Ibu korban juga sudah pisah beberapa waktu lalu.
MMH adalah anak semata wayang yang akhirnya memilih untuk bekerja sendiri sebagai penjaga warung buah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Faozan berharap pemerintah memberikan bantuan kepada MMH agar dapat melanjutkan pendidikan di SMA di Kota Cirebon.
Ia merasa sangat sedih melihat potensi dan prestasi korban yang seharusnya melanjutkan pendidikan, namun terputus karena masalah biaya.