Eks Dirut Polinema Ditetapkan Tersangka Kasus Pengadaan Lahan, Bakal Ajukan Pra Peradilan

Penulis: Tony Hermawan
Editor: Samsul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DITETAPKAN TERSANGKA - Awan Setiawan, mantan Direktur Politeknik Negeri Malang ditetapkan tersangka dugaan penyelewangan pengadaan tanah untuk lahan proyek perluasan kampus Polinema. Dia dan Hadi Setiawan, penjual tanah kini ditahan di Rutan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Tony Hermawan

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Mantan Direktur Polinema Awan Setiawan buka suara usai ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembelian lahan kampus seluas 7.104 meter persegi di Kecamatan Jatimulyo, Lowokwaru, Kota Malang.

Ia menyebut dirinya telah dikriminalisasi.

"Kriminalisasi," ucapnya sambil melirik arah pengacaranya. Pernyataan itu dilontarkan saat digiring masuk rumah tahanan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Rabu (11/6).

Penetapan Awan Setiawan sebagai tersangka tidaklah tiba-tiba. Proses ini melewati rangkaian penyelidikan yang panjang, meliputi pemeriksaan berbagai saksi dan penghitungan kerugian negara.

Kasus ini telah diselidiki sejak tahun 2023, saat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur masih dipimpin oleh Mia Amiati.

Baca juga: Eks Dirut Politeknik Negeri Malang Jadi Tersangka Kasus Korupsi Pengadaan Tanah Senilai Rp22 M

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka penyimpangan proyek pengadaan tanah, Awan Setiawan sudah beberapa kali dipanggil ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk dimintai keterangan.

Sementara itu, Didik Lestariyono kuasa hukum Awan Setiawan, mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021, menyampaikan klarifikasi resmi atas penetapan status tersangka terhadap klien kami oleh pihak Kejaksaan.

“Kami sangat menyesalkan penetapan tersangka terhadap klien kami yang tidak berdasar dan dilakukan sebelum ada hasil audit resmi yang menyatakan kerugian negara. Kami tegaskan bahwa semua prosedur telah dilalui secara sah, transparan, dan akuntabel. Negara justru telah memperoleh aset berupa tanah yang sah, yang telah dicatat dalam BMN. Di mana letak kerugiannya?," terangnya melalui rilis yang diterima. 

Baca juga: Rekam Jejak Kepala Kejati Jatim yang Baru Kuntadi, MAKI Harap Kasus Korupsi di Jatim

"Penetapan tersebut kami pandang sebagai langkah yang prematur, tidak proporsional, dan tidak mencerminkan prinsip due process of law dalam sistem hukum yang adil," tambahnya.

Pengadaan tanah yang menjadi objek perkara telah dilakukan secara terbuka, akuntabel, serta berdasarkan mekanisme dan regulasi yang berlaku.

Tanah seluas 7.104 m⊃2; yang berlokasi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru – tepat berdampingan dengan aset milik Polinema – merupakan bagian integral dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema 2010–2034. 

Baca juga: Cak Eri Angkat Bicara Terkait eks Pejabat Pemkot Surabaya Jadi Tersangka Korupsi : Bukan ASN Lagi

"Letaknya strategis, kondisi fisiknya datar dan siap bangun, sehingga secara teknis sangat ideal untuk pengembangan sarana pendidikan tinggi vokasi," lanjutnya. 

Harga pembelian sebesar Rp6.000.000 per meter persegi telah mencakup pajak dan dinilai wajar, mengacu pada data harga pasar dari instansi resmi, seperti Kelurahan, Kecamatan, dan Kantor Pertanahan (BPN).

Proses ini ditangani sepenuhnya oleh Tim Pengadaan Tanah (dikenal sebagai “Tim 9”), yang dibentuk melalui Surat Keputusan Direktur dan terdiri dari pejabat struktural Polinema.

Mereka bertanggung jawab atas seluruh tahapan, mulai dari survei lokasi hingga penetapan harga dan transaksi.

"Penting untuk ditegaskan bahwa klien kami, Bapak Awan Setiawan, tidak pernah melakukan negosiasi langsung dengan pemilik atau penjual tanah," terangnya.

Selain itu, lanjut Didik patut dicatat bahwa seluruh kewajiban perpajakan, termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maupun Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual, ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah, bukan oleh Polinema. Ini merupakan bukti bahwa tidak ada pengeluaran negara di luar ketentuan.

Pengadaan ini telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak, dan lahan tersebut telah resmi disertifikatkan atas nama negara serta tercatat dalam daftar Barang Milik Negara (BMN). Maka, secara hukum, administratif, dan faktual, tanah tersebut telah sah menjadi bagian dari aset negara.

Ironisnya, perkara ini muncul bukan karena kesalahan dalam proses pengadaan, tetapi justru karena penghentian pembayaran sisa harga oleh pimpinan Polinema setelah Awan Setiawan tidak lagi menjabat.

Hal tersebut menimbulkan sengketa perdata yang kemudian dibawa ke ranah pengadilan oleh pemilik tanah. Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui putusan kasasi, menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah tersebut sah secara hukum dan mengikat secara keperdataan.

"Sampai saat ini, belum ada satu pun hasil audit dari BPK maupun BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara. Maka, menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar kerugian negara yang jelas adalah tindakan yang tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum," jelasnya.

"Penegakan hukum yang adil harus menjunjung asas praduga tak bersalah dan tidak semata-mata didasarkan pada persepsi. Kami percaya bahwa kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan berdiri tegak, dan klien kami akan memperoleh haknya untuk dipulihkan nama baik serta kehormatannya di mata publik," tandasnya.

Berita Terkini