Jika tetap dibiarkan, pasal ini bisa jadi alat represif terhadap masyarakat biasa yang sebenarnya tidak memiliki niat korupsi.
Baca juga: Penjelasan Kepsek Soal Uang Tabungan Siswa SDN 1 Mekarsari Rp 343 Juta Mandek, Dipakai Guru Pensiun
Ia menyebutkan, dalam kasus penjual pecel lele di trotoar, unsur dalam pasal itu tetap bisa diakali agar semua terpenuhi:
1. Penjual dianggap melanggar hukum karena trotoar bukan untuk berdagang,
2. Penjual memperoleh keuntungan pribadi,
3, Negara dianggap dirugikan karena fasilitas umum jadi rusak atau terganggu.
Baca juga: Benarkah Belum Pasti Dapat BSU 2025 Meski Sudah Lolos Verifikasi? BPJS Ketenagakerjaan Jelaskan
Padahal, kata Chandra, praktik semacam itu jelas bukan esensi dari tindak pidana korupsi.
Selain meminta Pasal 2 Ayat (1) dihapus, Chandra juga mendorong agar Pasal 3 direvisi.
Ia mengusulkan agar frasa "setiap orang" dalam pasal itu diubah menjadi "pegawai negeri" atau "penyelenggara negara".
Perubahan itu, menurutnya, akan selaras dengan semangat Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC), yang lebih menekankan pada penyalahgunaan jabatan publik.
"Kesimpulannya adalah Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tipikor, kalau saya berpendapat, untuk dihapuskan karena rumusannya melanggar asas lex certa, perbuatan apa yang dinyatakan sebagai korupsi," tegas Chandra.
Ia juga menyebut bahwa korupsi seharusnya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang punya kewenangan, bukan rakyat biasa yang hanya mencari nafkah.
Sidang uji materi ini diajukan sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa UU Tipikor terlalu lentur dan bisa disalahgunakan.
Sementara itu, Rasa syok tak dapat ditutupi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah, dan anak buahnya saat menggeledah rumah koruptor.
Baca juga: Pencarian Bocah Hanyut di Sungai Brantas Malang Resmi Dihentikan, Korban Masih Belum Ditemukan
Bahkan anak buah Febire nyaris pingsan kala itu.
Usut punya usut, di sana mereka menemukan uang tunia miliaran rupiah, tergeletak di lantai.