Pertama, ia menekankan pentingnya perhatian serius terhadap masih banyaknya narasi dalam buku teks SD yang mengandung bias gender dan tidak ramah lingkungan.
Ia menyebut masa pendidikan dasar sebagai fase krusial dalam pembentukan karakter anak.
“Dalam fase ini, anak-anak belajar melalui pengamatan, pendengaran, bacaan, dan peniruan, termasuk dari buku-buku teks yang mereka gunakan di sekolah. Kalau buku yang dipakai anak-anak sejak dini saja masih menanamkan stereotip gender dan eksploitasi alam, maka kita sedang menanam benih ketimpangan sejak awal,” tegasnya.
Kedua, Radius tidak menyarankan penghapusan total buku-buku yang ada, namun mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap isi narasi, profil penulis, penerbit, serta lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi buku teks.
“Pemerintah bisa mengambil peran lebih aktif dalam proses kurasi dan pengawasan, agar nilai-nilai keadilan gender dan kelestarian lingkungan menjadi bagian integral dari materi pembelajaran,” jelasnya.
Ketiga, Radius menyampaikan, meski penelitiannya tidak mencakup keseluruhan aspek Kurikulum Merdeka, analisis terhadap buku teks tetap penting karena buku merupakan salah satu instrumen utama dalam proses pembelajaran di hampir seluruh sekolah dasar di Indonesia.
Dengan paparan ilmiah dan argumentasi yang kuat, Radius berharap disertasinya mampu memicu diskusi lebih luas tentang pentingnya pendidikan dasar yang terbebas dari bias ideologis, sekaligus mendorong lahirnya generasi yang lebih kritis, adil, dan peduli terhadap lingkungan.