TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA – Perkara dugaan korupsi proyek Pembangunan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) Kabupaten Lamongan disidangkan.
Sidang dengan nomor perkara 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN Sby ini berlangsung di ruang Cakra ini menghadirkan tiga saksi kunci,
Saksi diantaranya Rio Dedik dan Andre, untuk dimintai keterangan terkait aliran uang proyek.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyoroti peran Rio, yang disebut-sebut mengendalikan proses suap di internal Dinas Peternakan Lamongan.
Di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Ni Putu Sri Indayani, SH, Rio mengaku pernah memberikan uang.
Baca juga: Penyelidikan Jaksa Butuh 2 Bulan, Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan RPHU Lamongan Naik ke Penyidikan
“Saya diminta Bu Eka untuk mengurus pekerjaan proyek RPHU dan selesai pekerjaan saya pernah serahkan uang Rp3,5 juta, diruanggan nya ” tutur Rio.
“Setelah saya kasih uang kepada semua Staf saya berlanjut memberikan uang Rp9 juta kepada Pak Wahyudi,” lanjutnya.
Rio menegaskan dana Rp9 juta itu hanyalah “fee” ucapan terima kasih untuk teman-teman dinas yang membantunya.
Baca juga: Kejari Sita Uang Rp 3,1 Miliar dari Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Dana BOS SMK PGRI 2 Ponorogo
Saat dicecar JPU, ia tak dapat memastikan apakah uang itu benar-benar diterima langsung terdakwa Drs. Moch. Wahyudi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Menanggapi kesaksian tersebut, Wahyudi dengan tegas membantah
“Saya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari Rio. Bentuk uangnya saja saya tidak tahu,” ujar Wahyudi di persidangan.
Penasehat hukum terdakwa, Muhammad Ridlwan, didampingi Ainur Rofik, menilai kliennya sekadar dijadikan tumbal oleh pihak lain yang lebih bertanggung jawab dalam aspek teknis:
“Uang itu bukan untuk Pak Wahyudi secara pribadi. Itu diserahkan setelah seluruh pekerjaan selesai dan katanya untuk pegawai dinas yang membantu saksi,” jelas Ridlwan.
“Kerugian negara Rp92 juta yang diungkap BPK bersumber dari selisih volume pekerjaan persoalan teknis, bukan administratif. Seharusnya kontraktor dan tim teknis lebih dulu diproses,” tegasnya.
Kuasa hukum juga mempersoalkan penyidik yang menolak permintaan uji poligraf dan psikologi forensik guna memastikan siapa sebenarnya yang tidak jujur dalam proyek tersebut.
Dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), proyek RPHU merugikan negara Rp92, juta. Pihak ketiga (kontraktor) disebut telah dimintai pertanggungjawaban.
Ridlwan menambahkan, Wahyudi tidak tahu-menahu praktik “pinjam bendera” yang diduga dilakukan Kliennya.
“PPK hanya pengendali umum. Pengurusan detail lapangan ada pada PPTK dan tim teknis. Kalau ada bendera pinjaman, PPK jelas tidak mengetahuinya.”sambungnya.
Majelis Hakim menunda persidangan dan menjadwalkan sidang pembuktian berikutnya pada Kamis, 3 Juli 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi tambahan.
Ridlwan berharap proses persidangan dapat membuka seluruh fakta tanpa tebang pilih.
“Jangan sampai perkara ini seperti pepatah ‘orang buang air, orang lain disuruh menyeka.’ Kami ingin semua terang-benderang agar keadilan benar-benar ditegakkan,” pungkasnya.