Mimpi yang Terjawab, Hati yang Tergetar
Hari pengumuman SNBP datang. Margaret hampir tak percaya—namanya muncul sebagai mahasiswa baru Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kabar itu disambut antusias oleh sang kakak, yang langsung bekerja siang malam untuk mengumpulkan biaya keberangkatan ke Jakarta.
Namun, cibiran belum berhenti.
“Ada anak pejabat saja kuliah di Jawa, pulang-pulang bawa utang. Kita yang miskin jangan sok,” ujar salah satu tetangga.
“Miskin banyak gaya,” tambah yang lain.
Tapi Margaret tidak goyah. Ia tak membalas dengan kata-kata, melainkan dengan bukti.
“Pilihan ini kendaraan jiwaku. Aku hanya berharap, dalam perjalanan ini aku tetap terjaga,” ucapnya.
Kini, Margaret resmi menjadi mahasiswa UI.
Ia bukan lagi gadis Kupang yang ditertawakan karena ingin kuliah tinggi.
Ia adalah bukti nyata bahwa kemiskinan tidak pernah bisa mengalahkan keteguhan hati.
“Karena tidak ada mimpi yang terlalu besar untuk seseorang, atau pemimpi yang terlalu kecil,” tulis Imam dalam unggahannya.
Margaret bukan sekadar satu cerita inspiratif.
Ia adalah wajah dari ribuan anak di pelosok negeri yang menyimpan potensi besar, namun terkurung oleh kemiskinan dan stigma sosial.
Kisahnya adalah tamparan bagi sistem pendidikan kita—yang kerap lebih cepat menghakimi, daripada memberi harapan.