Tak ada hidangan mewah, semuanya disiapkan sepraktis mungkin di rumah Maeda.
Kesederhanaan menu itu justru memperlihatkan fokus para tokoh pada perjuangan, bukan pada kenyamanan pribadi.
Sahur sekadar mengisi tenaga sebelum melanjutkan puasa di hari bersejarah yang akan mengubah arah bangsa.
Baca juga: Sosok Penyelamat Naskah Asli Proklamasi Tulisan Tangan Soekarno yang Nyaris Terbuang
Soekarno Tidak Berpuasa
Presiden Soekarno sendiri tidak ikut berpuasa saat itu karena kondisi kesehatannya terganggu.
Ia masih menderita malaria dan membutuhkan tenaga ekstra untuk memimpin jalannya perumusan teks proklamasi.
Meskipun begitu, kehadiran Soekarno tetap vital, terutama ketika memimpin diskusi terkait kalimat pembuka hingga penutup proklamasi.
Baca juga: Fakta di Balik Pembacaan Teks Proklamasi, Rencana Lokasi Berubah, Soekarno Beri Kalimat Pembuka
Nasi Goreng untuk Achmad Soebardjo
Selain roti dan sarden, nasi goreng juga hadir sebagai menu sahur.
Hidangan sederhana ini dimasak oleh Satsuki Mishima, staf Maeda yang juga membantu meminjamkan mesin ketik untuk naskah proklamasi.
Nasi goreng hangat itu disantap oleh Achmad Soebardjo dan beberapa tokoh lain yang ikut berjaga malam.
Menariknya, nasi goreng yang kini dianggap makanan sehari-hari justru pernah menjadi bagian penting dari momen monumental bangsa.
Filosofi di Balik Sahur Sederhana
Menu sahur yang sederhana ini seakan menjadi simbol semangat pengorbanan.
Para tokoh bangsa tidak memikirkan kemewahan, bahkan di tengah momen paling menentukan sekalipun.
Fokus mereka hanya satu: memastikan Indonesia merdeka.
Roti, sarden, telur, dan nasi goreng bukan sekadar makanan pengisi perut, melainkan saksi bisu perjuangan yang mengiringi lahirnya sebuah bangsa.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com