TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Badan Anggaran (Banggar) DPR RI telah menggelar rapat kerja dengan pemerintah membahas pokok-pokok RUU RAPBN 2026.
Usai raker itu, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah menjelaskan beberapa poin utama yang dibahas.
Said mengaitkan hasil raker ini dengan situasi global, akibat perang konvesional, dan perang dagang makin memberi sumbangan besar terhadap ketidakpastian perekonomian global.
"Kita jadi ingat idiom, “same storm, different boats” banyak negara memiliki masalah yang sama, tetapi berbeda kemampuan menghadapi masalah tersebut. Namun kita yakin memiliki kemampuan yang baik menghadapi badai eksternal ini," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/8/2025).
Untuk itu, dia berharap pemerintah mengajukan angka angka asumsi ekonomi makro yang realistis, namun tetap menginjeksikan harapan, bahwa perekonomian nasional bisa tumbuh inklusif.
Demikian halnya dengan kebijakan fiskal, bisa lebih adaptif, komprehensif dan bisa dijalankan secara efektif.
Baca juga: Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah Perkirakan Postur RAPBN 2026 Sangat Menantang
Dia menilai, sekalipun dunia menghadapi tantangan yang tidak mudah, namun IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2026 pada angka yang lebih baik, diangka 3 persen dan perkiraan tahun ini 2,8 persen. Perekonomian negara negara developing economies tahun depan diperkirakan tumbuh 3,9 dan tahun ini 3,7 persen.
'Jadi semestinya proyeksi ini memberikan peluang perekonomian nasional tahun depan bisa lebih baik dari tahun ini," katanya.
Untuk itu dia meminta harus mengubah pola pikir, dan menempatkan setiap krisis sekecil apapun sebagai peluang mengubah tatanan ekonomi.
"Kecepatan merespon dan mengubah tatanan untuk meloncat lebih tinggi menandakan kita punya jawaban jawaban menghadapi krisis," ujarnya.
Dijelaskan, tren proteksionisme imbas perang dagang harus cepat bisa kita jawab dengan kemandirian pangan dan energi. Itu tidak cukup hanya dengan mengandalkan strategi bertahan dengan membuka fiskal ekspansif melalui defisit APBN.
"Kita perlu mengombinasikannya dengan strategi kebijakan ofensif dalam membangun ketahanan energi dan pangan. India memiliki strategic petroleum reserve. Kita apa? Itu yang harus kita jawab," tegasnya.
"Puji syukur pada kuartal 1 2025 ini sektor pertanian tumbuh 10,52 persen dan sektor peternakan tumbuh 8,8 persen. Ini permulaan yang baik di awal pemerintahan Presiden Prabowo, capaian ini hendaknya terus ditingkatkan ditahun tahun mendatang dalam arsitektur kebijakan yang lebih strategis," tambahnya.
Dijelaskan, pada kuartal I 2025 ekspor nasional tumbuh 6,6 persen dibanding periode yang sama dengan tahun lalu. Semoga bisa dipertahankan, meskipun per April lalu Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif perdagangan kepada banyak negara.
"Sebenarnya hal ini sudah kita prediksikan, namun kita tak mengira tarifnya sedemikian tinggi, dan mengguncang perdagangan global. Sekalipun ada koreksi atas sebagian kebijakan tersebut, dampaknya mungkin akan terasa. Karena itu, ekspor nasional harus tetap kita jaga agar neraca perdagangan bertahan di zona positif dan menjadi pilar penting pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Dia melihat, visi perdagangan internasional harus lebih mampu menjawab kebutuhan mitra dagang. Diplomasi perdagangan harus adaptif, dan merespon tuntutan dengan cepat. Perdagangan internasional harus lebih ekspansif, tidak bergantung pada Tiongkok dan Amerika Serikat, yang berakibat mudah terseret dalam medan konflik dagang yang merugikan, dan sulit keluar dari pusaran itu.
Perang dagang dan konflik geopolitik mengendurkan urat nadi investasi dan perdagangan global. Pertumbuhan investasi didalam negeri pada kuartal I 2025 hanya tumbuh 2,12 persen.
"Kita berharap tidak semakin terkoreksi pada kuartal berikutnya karena investor lebih memilih wait and see dan memarkir modalnya pada asset safe haven seperti emas, dan mata uang global yang dianggap lebih stabil," tegasnya.
Namun situasi ini bisa dibaca sebagai peluang, dengan demikian pemerintah harus menyiapkan strategi investasi lebih komprehensif. Tujuannya meyakinkan investor bahwa modal yang mereka injeksikan ke Indonesia menjanjikan imbal hasil yang sangat menarik, terutama pada sektor riil. Tujuannya mendorong permintaan dan menyerap lapangan kerja baru.
"Bila kita cermati perkembangan kurs rupiah terhadap USD cenderung terdepresiasi. Disatu sisi hal ini memberi peluang kenaikan devisa jika ekspor kita ekspansif, Sebaliknya bisa berdampak biaya mahal terhadap produk produk impor. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu memikirkan strategi untuk mematok asumsi nilai tukar yang lebih moderat, termasuk perlunya perluasan pembayaran internasional yang tidak semata mata bertumpu pada USD, seperti yang berulang kali kami ingatkan, perlu kita perluas local currency dalam transaksi ekspor-impor dengan mitra dagang strategis," paparnya.
Dituturkan, ke depan pemerintah perlu mengembangkan strategi pendanaan baru, agar dana pihak ketiga di perbankan lebih menggerakan sektor riil dan tidak terserap banyak pada SBN. Dengan imbal hasil SBN yang terus menjanjikan, dengan sendirinya menjadi pesaing perbankan menyerap dana masyarakat.
"Nasabah kelas kakap akan lebih tertarik ke SBN ketimbang memarkir uangnya di deposito. Demikian halnya perbankan, lebih senang membelanjakan DPK ke SBN ketimbang kredit sektor riil yang beresiko. Kami yakin Saudari Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia memiliki cara untuk itu," urainya.
Dinamika perekonomian dan geopolitik cepat berubah, berdampak pada volatilitas pasar keuangan dan perekonomian. Kebijakan ekonomi harus cepat, luwes, dan menjawab persoalan. Kebijakan fiskal dan moneter harus terintegrasi menjadi navigasi yang jelas, dan jangan membuat keragu raguan para pelaku ekonomi, serta yang paling penting menjaga kepentingan nasional
Pemerintah menargetkan pendapatan negara pada RAPBN 2026 sebesar Rp. 3147,7 triliun, atau naik Rp. 282,2 triliun dari target 2025. Sumbangsih kenaikan dari penerimaan perpajakan dari target 2025 sebesar Rp. 2.387,3 triliun menjadi Rp. 2.692 triliun.
"Kami mendukung kenaikan penerimaan perpajakan ini. Namun Pimpinan Banggar mengingatkan pemerintah agar tidak menaikkan tarif pajak, apalagi kondisi perekonomian rakyat tidak baik baik saja. Jangan sampai Ditjen Pajak berburu di kebun binatang, tetapi harus memperluas kebun binatang, dengan kata lain perlu memperbesar skala usaha para pelaku usaha, dan memperbanyak pelaku usaha agar memberikan sumbangan besar bagi penerimaan perpajakan," urainya.
Berkurangnya Dana Transfer Ke Daerah dan Desa dari Rp. 919 triliun pada tahun 2025 dan turun drastis sebesar Rp. 269 triliun menjadi Rp. 650 triliun pada RAPBN 2026 berpotensi menghambat pelayanan publik dan pembangunan di daerah, serta memaksa pemerintah daerah membuat kebijakan kebijakan baru yang rentan menaikkan perpajakan daerah yang pada akhirnya membebani rakyat. Selain itu, penguatan anggaran dan fiskal daerah merupakan bagian dari mandat otonomi daerah yang ada di konstitusi kita.
Untuk itu, dia menyarankan pemerintah perlu memperbaharui data kemiskinan seiring dengan perubahan angka Purchasing Power Parity (PPP), sebagaimana yang telah di lakukan oleh Bank Dunia. Pemutakhiran data ini penting untuk mendapatkan data kemiskinan yang akurat sebagai pijakan perumusan kebijakan penanggulangan kemiskinan pada tahun tahun mendatang.
"Sebelum mengakiri pengantar ini, kami perlu mengingatkan kembali kepada pemerintah, berbagai program besar seperti MBG, Koperasi Merah Putih, Sekolah Rakyat, dan lain lain harus menjadi Game Changer, program yang bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik. Jangan sampai kita wasting time dan kehilangan sumber daya sia sia. Kuncinya pada tata kelola yang akuntabel, transparan dan partisipatif," pungkasnya.