Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Aspek Pemicu MBG Bikin Banyak Siswa Keracunan Kini Terjawab, Ternyata Tak Ada Standar Khusus

Inilah ternyata aspek pemicu MBG yang ternyata tidak memiliki standar baik sedikitipun.

Penulis: Ignatia | Editor: Mujib Anwar
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
LEMAH PENGAWASAN - Petugas menyiapkan paket makanan bergizi yang akan didistribuskan ke salah satu sekolah pada program Makan Bergizi Gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Baleendah Rancamanyar, Jalan Bojongsayang, Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (29/9/2025). Dapur SPPG yang melibatkan 47 orang relawan ini beroperasi sejak 25 Agustus 2025 dengan mendistribusikan MBG kelima sekolah, yakni SDN Rancamanyar 2,3 dan 6, SDIT Az-Zahra Rancamanyar, dan SMPN 3 Baleendah. Serta Posyandu B3 yang melayani ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. BPOM menyebut kasus keracunan MBG bisa terjadi karena penyebabnya mayoritas SPPG baru beroperasi selama sebulan. 

Poin penting:

  • Diketahui aspek pemicu MBG yang ternyata karena tidak adanya standar yang baik dalam pelaksanaan dan persiapannya.
  • Ombudsman RI menemukan fakta terbaru bahwa pengawasan dan standar harusnya sesuai standar internasional.
  • Seringkali Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.

TRIBUNJATIM.COM - Pelaksanaan Program MBG hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebenarnya dibayar dengan uang negara dan tidaklah murah.

Pemerintahan Prabowo bahkan menjamin bentuk program MBG dengan kualitas premium.

Namun belakangan, hampir di seluruh penjuru negeri mengeluhkan dampak dari MBG.

Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Meski negara membayar dengan harga premium, kualitas makanan yang diterima anak-anak justru jauh dari harapan.

Dari bahan pangan yang tak sesuai kontrak, proses pengolahan tanpa standar, hingga distribusi yang semrawut, semuanya menimbulkan tanda tanya besar soal tata kelola program ini.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut sejumlah dapur umum atau Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.  

Hal itu terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit (AQL) yang tegas, sehingga kualitas pangan yang sampai ke meja makan siswa tidak sepadan dengan nilai anggaran yang dikeluarkan negara.

“Beberapa dapur juga menerima sayuran yang tidak segar setelah lauk pauk yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas, sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka saat konferensi pers, Selasa (30/9/2025), seperti dikutip TribunJatim.com dari Kompas.com, Rabu (1/10/2025).

Baca juga: Sosok Artis Pernah Jadi Bupati, Tahan Tangis Ingat Masa Kecilnya Ikut Ayah Memulung Barang Bekas

Di tahap pengolahan, standar hazard analysis and critical control point (HACCP) juga belum diterapkan secara konsisten.

Beberapa SPPG bahkan tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sebagai syarat sistem pengendalian mutu.

Kelemahan ini semakin jelas ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang semestinya melakukan 13 item pengawasan, dinilai belum maksimal. Hasilnya, 17 kasus keracunan luar biasa terjadi hingga Mei 2025.

“Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin,” paparnya.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved