Berita Viral
Tempati Lahan Sejak 1997, Puluhan Keluarga Kini Terancam Digusur setelah Kedatangan Anggota DPD RI
Padahal warga juga mulai diakui secara administratif karena telah memiliki KTP dengan alamat di lokasi tersebut.
Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM - Sejak 1997-1998, lahan di kawasan Jati Padang Utara, Jakarta Selatan, telah ditempati sejumlah kepala keluarga (KK).
Namun, kini puluhan KK yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut terancam digusur.
Pasalnya, seorang anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta mengeklaim tanah tersebut.
Baca juga: Pilu Anak Angkat Adukan Pencabulan Ayahnya yang Kiai, Ibu Malah Bela Pelaku: Jijik Cerita Begitu
Salah satu warga Indah (bukan nama sebenarnya) menceritakan, awal mula mereka menempati lahan tersebut saat krisis moneter pada tahun 1997–1998 silam.
Saat itu, banyak keluarga kehilangan pekerjaan dan tidak mampu menyewa kontrakan.
Akhirnya ketua RT terdahulu mengizinkan warga untuk membangun pemukiman di kawasan tersebut.
"Jadi awalnya tuh tahun 1998 memang warga ini menempati tanah kosong ini," ungkap Indah kepada Kompas.com, Senin (29/9/2025).
"Jadi sebenarnya tanah kosong awalnya dan sudah izin lisan, hanya lisan ya," lanjutnya.
"Ke RT pada saat itu dengan catatan jika memang tanah ini digunakan oleh pemiliknya, warga siap pergi," imbuh Indah.
Indah menuturkan, warga mulai diakui secara administratif karena telah memiliki KTP dengan alamat di lokasi tersebut.
"Sampai memang kita dibolehin tinggal di sini dan sampai kita punya KTP. Artinya kita diakui dong sebagai warga," ucapnya.
Namun, situasi berubah pada akhir 2023.
Seorang anggota DPD RI Dapil DKI Jakarta mengeklaim tanah itu miliknya dan meminta warga segera pindah.
Puncaknya, pada Februari 2025, anggota DPD tersebut mendatangi langsung warga dengan membawa uang Rp5 juta dan memberi waktu 14 hari untuk segera mengosongkan lahan tersebut.
"Cuma tuh dia enggak bisa tunjukin surat kuasa ataupun pemilik tanahnya. Warga kita bukan enggak mau pindah, kita siap pindah. Asal kita ditunjukin siapa pemilik tanah ini atau memang ada suratnya," tutur Indah.

Menurut Indah, warga juga mendapatkan beragam intimidasi karena menolak pindah.
Intimidasi tersebut, kata dia, semakin terasa ketika diminta menandatangani surat pernyataan siap pindah tanpa ditunjukkan surat kuasa ataupun bukti kepemilikan.
Sejak itu, berbagai bentuk tekanan dialami warga, mulai dari penutupan saluran air, penutupan akses jalan, hingga pencabutan lampu penerangan jalan.
"Intimidasinya tuh salah satunya nih saluran got ditutup. Jadi tuh kadang kita kalau hujan sedikit langsung banjir. Kemudian PJU ditarik, dicabut," kata dia.
Penutupan akses jalan disebut menjadi persoalan paling berat bagi warga.
Jalan utama yang biasa dipakai untuk beraktivitas kini tidak bisa dilalui, sehingga warga harus memutar melewati bantaran sungai.
Kondisi ini dinilai membahayakan, terutama bagi warga lanjut usia.
"Sekarang banyak orang tua di sini yang akhirnya jarang keluar rumah karena jalannya ditutup. Kalau mau ke luar harus lewat pinggir kali," tutur Indah.
Selain itu, warga juga menyebut ada ancaman berupa pemblokiran KTP hingga pencabutan bantuan sosial dan KJP bagi anak-anak sekolah.
"Iya, anak sekolah KJP mau dicabut. Jadi tuh warga di sini kan sebenarnya masih pada betah sini. Cuma karena banyak ancaman itu akhirnya sekarang pada pindah," jelasnya.
Warga lainnya, Sarti mengatakan, jalan alternatif yang kini dipakai berisiko karena berada di bantaran kali dan minim penerangan.
"Jadi kita sekarang kalau ditutup ya lewat pinggir kali. Enggak ada penerangan. Cuma ya kan pinggir, nah dari masjid, pinggir dari masjid dan lampunya gitu doang. Enggak ada penerangan langsung itu mas. Jadi ngandelin lampu masjid," tutur Sarti.
Baca juga: Fajar Ditolak Rumah Sakit Berobat Pakai BPJS usai Tersengat Listrik, Dianggap Kecelakaan Kerja
Indah mengaku sudah melaporkan persoalan ini ke berbagai instansi, mulai dari kelurahan, wali kota, Komnas HAM, hingga melalui aplikasi JAKI.
Ia juga menyebut telah mendapatkan pendampingan hukum dari LBH.
"Terus kita didampingi juga sama LBH itu. Kita juga sudah ngirim surat ke mana-mana, ke Kelurahan, ke Wali Kota, ke Komnas HAM, lewat Jaki, aplikasi Jaki. Pokoknya semuanya kita sudah tapi belum ada jawaban, malah kita semakin dirapetin sekarang kayak gini (akses jalan)," ucap Indah.
Meski demikian, belum ada kejelasan mengenai sengketa lahan tersebut.
Namun, mereka menegaskan tidak keberatan untuk meninggalkan lahan asalkan ditunjukkan bukti legalitas kepemilikan tanah.
"Bukan kita enggak mau pergi, kita mau pergi asalkan ditunjukin saja. Kalau memang benar kan, ya udah kita pergi," kata Indah.
"Karena kita enggak mau serahkan tanah ini ke orang yang salah. Atau takutnya malah disalahgunakan," imbuh dia.

Ketua RT setempat, Tono, menjelaskan bahwa klaim warga mengenai izin bangunan tidak sesuai fakta.
Menurut Tono, semua warga yang saat ini tinggal di kawasan tersebut tidak memiliki izin resmi dari pemilik lahan untuk mendirikan bangunan.
"Jadi mereka itu tinggal di sini dulu sebenarnya izinnya itu adalah bercocok tanam. Tapi mereka yang ada sekarang ini adalah orang yang tidak pernah punya izin untuk mendirikan bangunan ataupun bercocok tanam," ujar Tono kepada Kompas.com, Selasa (30/9/2025).
Tono menambahkan, hak pengelolaan lahan sepenuhnya berada di tangan pemilik sah dan pihak yang diberikan kuasa hanya menjalankan tugas administratif tanpa bisa mengeklaim kepemilikan.
"Bapak (anggota DPD) itu sebenarnya yang diberi kuasa. Dia diberi kuasa untuk mengurus lahan ini, gitu," kata dia.
Ia juga menekankan bahwa jalan yang ditutup bukan jalan umum, melainkan tanah salah satu warga yang bersertifikat.
Ia menjelaskan bahwa alasan pemblokiran jalan tersebut adalah untuk memberi batas antara tanah yang dihibahkan dan pemilik tanah.
"Bukan jalan utama. Itu hanya, itu adalah tanah warga yang bersertifikat, gitu. Jadi, mereka itu, tanah itu ada dua warga sebenarnya, itu bukan jalan umum. Tidak ada jalan umum di situ," jelas dia.
Baca juga: Dapat Tukang dari Facebook, Fauzi Malah Rugi Rp56 Juta, Rumah Gagal Dibangun
Selain itu, Tono membantah adanya intimidasi terhadap warga.
Menurut dia, klaim warga soal pemblokiran KTP atau pencabutan bantuan sosial tidak berdasar.
"Tidak ada intimidasi. Itu sudah dituangkan pada saat saya ditukar di informasi, saya bilang di depan LBH-nya, apa bentuk intimidasi saya? Baik secara lisan, tulisan, ataupun secara visual. Apa jawaban LBH? Iya-iya saja," ujarnya.
Sementara terkait penerangan jalan yang disebut dicabut, Tono menjelaskan bahwa pemasangan lampu dilakukan secara swadaya oleh RT terdahulu.
"PJU itu dari dinas, tidak ada kata-kata cabut. Jadi itu memang dulu itu pengurusan RT dulu itu modal sendiri untuk penerangan," ucap dia.
Kompas.com masih berupaya menghubungi anggota DPD Dapil Jakarta tersebut untuk mendapatkan klarifikasi mengenai kepemilikan lahan di Jati Padang Utara, namun belum mendapatkan respons.
Sengketa lahan ini masih berlangsung, dan warga berharap pemerintah memberikan kepastian hukum agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Pilu Anak Angkat Adukan Pencabulan Ayahnya yang Kiai, Ibu Malah Bela Pelaku: Jijik Cerita Begitu |
![]() |
---|
Fajar Ditolak Rumah Sakit Berobat Pakai BPJS usai Tersengat Listrik, Dianggap Kecelakaan Kerja |
![]() |
---|
Nasib Yai Mim Diusir Imbas Seteru dengan Nurul Sahara, Pindah-pindah Hotel sampai Keuangan Menipis |
![]() |
---|
Dapat Tukang dari Facebook, Fauzi Malah Rugi Rp56 Juta, Rumah Gagal Dibangun |
![]() |
---|
Argo Pergi Tak Pamit Pulang Jadi Jenazah, Ngaku Kerja di Resto Kamboja dan Sempat Pinjam Rp 500 Ribu |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.