Pengamat: #2019GantiPresiden Manfaatkan Ambiguitas Hukum, Berpotensi Pancing Konflik Horizontal
Gerakan #2019gantipresiden menjadi sebuah fenomena baru menjelang Pilpres 2019.
TRIBUNJATIM.COM, JAKARTA - Gerakan #2019gantipresiden menjadi sebuah fenomena menjelang Pilpres 2019.
Saat ini ada dua pasangan yang dipastikan ikut pertarungan Pilpres 2019, Joko WIdodo dan Maruf Amin, serta Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Pendukung gerakan ini memastikan tak ingin Joko Widodo memimpin Indonesia di periode selanjutnya.
Analisis pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) Hamdi Moeloek menilai gerakan ini berpotensi menyulut konflik horizontal di masyarakat.
(BREAKING NEWS - Tukang Sapu Ditemulan Tewas di Tol Romokalisari Surabaya)
(Usut Dugaan Suap Pembahasan APBD Kota Malang, KPK Geledah Rumah Tiga Politisi Partai Gerindra)
Elite politik pun diminta harus turun tangan memberikan teladan bagaimana berkompetisi secara sehat di alam demokrasi.
Dikutip TribunJatim.com dari Kompas.com, Argumentasi Hamdi tersebut berangkat dari kedudukan tagar #2019gantipresiden di mata hukum Indonesia yang berada di ruang abu-abu.
Tidak ada argumentasi yang 'clear' apakah tagar itu dapat dikategorikan sebagai upaya makar yang dilarang, atau sebatas kebebasan berekspresi.
Hamdi mengatakan, menurut Romli Atmasasmita, jika ada orang yang berteriak ganti presiden maka itu sama dengan ingin menurunkan presiden alias makar.
Mengingat presiden diangkat secara demokratis hingga selesai masa jabatannya tahun 2019.
"Oleh sebab itu, di tengah jalan tidak bisa diturunkan. Kalau diturunkan, namanya pemakzulan," ujar Hamdi.
(Bakal Main di Film Milly & Mamet, Intip Nih Penampilan Anggota Geng Cinta AADC Dulu dan Sekarang)
(Sempat Dikabarkan Dekat, Maria Selena Posting Foto Kevin Sanjaya Usai Bertanding)
Ambiguitas hukum
Di sisi lain, ia pun mengutip pernyataan Jimly Asshidiqqie yang menyebutkan bahwa tagar tersebut tidak melanggar apapun.
Disebut makar pun tidak memenuhi unsur.
"Yang kampanye juga bilang begitu kan. Mereka bilang, kami tidak memakzulkan. Kami cuma bilang 2019 ganti presiden, bukan saat ini. Artinya, kampanye tagar ini memanfaatkan situasi ambiguitas hukum," kata dia.
Di tengah pro kontra di mata hukum, tagar tersebut mendapatkan perlawanan kuat oleh kelompok yang menginginkan Presiden Joko Widodo melanjutkan jabatan presiden untuk dua periode.