Pentas Monolog Ludruk 'Semanggi Surabaya', Irama Budaya Sinar Nusantara Ajak Millenial Terlibat Seni
Pentas Monolog Ludruk 'Semanggi Surabaya', Irama Budaya Sinar Nusantara Ajak Millenial Terlibat Seni.
Penulis: Nur Ika Anisa | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Irama Budaya Sinar Nusantara mengajak generasi millenial terlibat dalam perkembangan kesenian ludruk melalui ruang diskusi dan gelaran pentas monolog.
Satu di antara program tersebut, Irama Budaya Sinar Nusantara menggelar pertunjukan monolog tentang dinamika Kota Surabaya bertemakan Semanggi Suroboyo.
Aktor sekaligus sutradara Irama Budaya Sinar Nusantara, Meimura menilai pertunjukan tersebut untuk memberikan penjelasan perkembangan ludruk yang pernah fenomenal.
• Tim Tari dan Ludruk Kampung Ketandan Lor Surabaya Berharap Bisa Ikut Lomba Nasional
• Festival Ludruk Kota Surabaya, Orang Tua: Acara Seperti ini Melindungi Anak dari Pergaulan Buruk
"Generasi millenial kita belum paham karena ada rentang waktu panjang belum ada yang menjelaskan kalau ludruk fenomenal. Hari ini tinggal beberapa saja yang eksis, ini aneh karena itu kami mencanangkan seniman ludruk sebagaimana yang pernah ada," kata Meimura, Rabu (27/3/2019).
Melalui pertunjukan monolog tersebut, dikatakan Meimura, tim produksi bercerita tentang dinamika kota pahlawan mulai dari taman, pasar, kuliner maupun Jogo Suroboyo bersama Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan.
• Muh Alfin Haris Sabet Dua Trofi Sekaligus dalam Parade Ludruk Muda 2018
"Persembahan Irama Budaya sebagai bagian masyarakat Kota Surabaya yang berkesenian," ujarnya.
Meimura mengatakan, akan mengadakan tour keliling nusantara mempertunjukan monolog tersebut diselingi diskusi bersama millenial.
"Monolog ini akan saya bawa keliling Indonesia, khususnya ludruk. Kami membuka ruang diskusi bagi generasi millenial kita di Jawa maupun luar Jawa," katanya.
"Saya harap berbagi pencerahan dan keinginan anak-anak millenial tentang ludruk," tambah Meimura.
Respon terhadap pertunjukan ludruk dinilai Meimura cukup menarik disamping Cak Nun yang mencanangkan kebangkitan ludruk untuk digarap.
"Saya kira ludruk mustinya jadi sumber reproduksi teater modern. Sejarah ludruk ini tontonan yang didesain punya kandungan spirit perlawanan ketidak baikan. Ludruk tidak kaku dengan bahasa, tidak dibatasi bahasa. Saya menawarkan teks parikan di luar pulau karena tidak semua orang Jawa," pungkasnya.