Ini Kisah Pasien Gagal Ginjal di Surabaya, Tolak Cangkok Ginjal & Pilih Cuci Darah Hingga 2000 Kali
Ini Kisah Pasien Gagal Ginjal di Surabaya, Tolak Cangkok Ginjal & Pilih Cuci Darah Hingga 2000 Kali Selama 10 Tahun Terakhir.
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Mendapat vonis gagal ginjal di usia 41 tahun, merupakan hal yang sulit diterima bagi Gatut Presdewantoro (50).
Pria asal Pasuruan ini tak menyangka hipertensi yang dideritanya akan membuatnya melakukan cuci darah seumur hidup.
"Awalnya hipertensi, di rumah mual dan muntah, sempat ke dokter umum dan dirawat di rumah tetapi sudah seminggu nggak sembuh-sembuh,"kenangnya.
• Cerita Pasien Gagal Ginjal di Surabaya, Gantungkan Hidupnya ke Mesin Cuci Darah Belasan Tahun
• 45 Pasien Gagal Ginjal Reguler Cuci Darah, RSU Soewandhie Surabaya Kewalahan
• Kisah Tragis Caleg Gagal di Pemilu 2014, Ibu Muda Bunuh Diri di Saung Bambu hingga Jual Ginjal
Menurutnya tekanan darah hingga 200 sudah biasa dialaminya. Dan iapun masih terbiasa begadang dengan kondisi darah tinggi seperti itu.
Namun, karena ia mulai merasakan mual dan muntah yang tak kunjung selesai. Iapun menjalani pemeriksaan laboratorium dan ternyata hasil keratinnya tinggi dan dinyatakan gagal ginjal.
Dan saat itu juga harus cuci darah. Sejak saat itu setiap Senin, Rabu, dan Jumat ia selalu ke Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo (RKZ) Surabaya untuk cuci darah.
"Masuk UGD dikasih tahu harus cuci darah ya nggak percaya, karena sejak kecil sampai usia 40 nggak pernah ke rumah sakit. Sekali sakit langsung gagal ginjal,"ujar bapak dua anak ini.
Iapun sempat kesulitan harus menjalani cuci darah rutin seminggu tiga kali hingga mengalami nyeri pada lengan. Belum lagi ia harus menjaga pola makan dan asupan minum yang dikonsumsi tiap harinya.
"Semakin lama sudah terbiasa apa lagi pembuluh darahnya sudah di perlebar jadi nggak sakit lagi,"urai mekanik di salah satu perusahaan swasta di Pasuruan ini.
Iapun tak menyangka telah menjalani cuci darah hingga 2.000 kali dalam 10 tahun terakhir. Meskipun kerap bolak-balik rumah sakit dan cuti kerja, ia mengaku tak pernah berpikiran untuk menjalani cangkok ginjal.
"Saya sudah pasrah, saya sakit juga akibat gaya hidup saya dulu. Makan dan istirahat nggak dijaga, jadi saya nggak mau nerima kalaupun saudara atau keluarga mendonorkan ginjalnya,"ungkap pria kelahiran Nganjuk, 7 Oktober 1968 ini.
Ditemani istrinya, Enywati (48), Gatut mengaku sangat menjaga pola makannya. Setiap hari ia hanya mengkonsumsi 500 mililiter air dan tidak pernah mengkonsumsi buah. Bahkan ia membatasi kegiatannya agar tidak terlalu leah saat kerja dan di rumah.
"Perusahaan saya sudah kerjasama dengan RKZ, jadi saya sangat terbantu dengan pembiayaan cuci darah yang ditanggung 80 persen oleh perusahaan. Bahkan saat cuci darah ke-2000 saya digratiskan sama rumah sakit,"jelasnya.
Pelaksana harian unit Hemodialisa RKZ, dr Budi Setiawan Sutedjo menjelaskan Gatut merupakan pasien cuci darah yang bisa menjaga kondisi tubuhnya selalu stabil. Sehingga bisa menjalani cuci darah dengan kondisi prima hingga ke 2.000 kali.
"Orang cuci darah idealnya seminggu tiga kali untuk, gaya hidupmya harus sangat dijaga. Di rumah jangan minum terlalu banyak dan makan buah terlalu banyak. Kalau memang pola hidupnya dijaga masih memungkinkan cuci darah 2000 kali,"paparnya.
Biasanya, pasien gagal ginjal tidak bisa menjalani cuci darah dan harus drop karena ada penyakit tambahan yang diderita pasien. Seperti infeksi berat, serangan jantung, hingga tekanan darah terlalu rendah.
"Kalau cangkok itu ditawarkan di awal tergantung kondisinya. Banyak syaratnya, dan paling susah cari pendonornya. Paling banyak memang cuci darah solusi untum gagal ginjal,"pungkasnya.