Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Gak Banyak yang Tahu, Inilah Alasan Tak Ada Kata 'Pemudi' dalam Sumpah Pemuda, Cewek Wajib Baca!

Ya, pada 28 Oktober 2017, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-89.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Dwi Prastika
deathlyfrost.deviantart.com
Hari Sumpah Pemuda 

Laporan Wartawan TribunJatim.com, Ani Susanti

TRIBUNJATIM.COM - Selamat Hari Sumpah Pemuda!

Ya, pada 28 Oktober 2017, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-89.

Rumusan Sumpah Pemuda terjadi pada 28 Oktober 1928 di Batavia yang saat ini menjadi Jakarta.

Peristiwa tersebut juga menjadi salah satu tonggak paling penting dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia.

(16 Tokoh Penting di Balik Perumusan Sumpah Pemuda, Kamu ‘Anak Muda Jaman Now Wajib Tahu)

Banyak hal menarik yang dapat dikulik dari peristiwa tersebut.

Hal tersebut terkadang luput dari perhatin.

Satu di antaranya adalah mengapa nama ikrar pemuda tersebut adalah 'Sumpah Pemuda' bukan 'Sumpah Pemudi' meskipun ada peran pemudi di dalamnya?


Ternyata ada berbagai alasan yang mendasari hal tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, berikut ulasannya :

1. Peran perempuan dalam Kongres Pemuda belum menonjol

Dikutip dari TribunStyle, peran perempuan dalam Kongres Pemuda II ternyata tidak begitu menonjol.

Begitu pula dengan jumlah peserta pemudi yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut.

Berdasarkan buku resmi Panduan Museum Sumpah Pemuda, peserta kongres yang tercatat hanya ada 82 orang dari 700-an peserta.

Sedangkan peserta perempuan jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari.

(PS TNI Sering Kehilangan Konsentrasi di 45 Menit Terakhir Laga, Ini Tanggapan Pelatih Persegres)

2. Perempuan hanya berjumlah 6 orang

Peserta Kongres Sumpah Pemuda
Peserta Kongres Sumpah Pemuda ()

Dari 82 peserta yang tercatat, hanya ada enam perempuan.

Perempuan-perempuan tersebut yaitu Dien Pantow, Emma Poeradiredjo, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari.

3. Kebebasan perempuan yang berbeda dengan sekarang

Siti Soendari
Siti Soendari ()

Dilansir dari Hipwee.com, minimnya kontribusi di zaman perjuangan dahulu diyakini karena adanya ketidakadilan pandangan.

Kesetaraan gender pun belum dijunjung tinggi seperti pada masa sekarang.

Hal ini bisa dilihat dari minimnya peran perempuan pada pidato yang terjadi di kongres kedua.

(H-4 Pernikahan, Intip 7 Foto Romantis Song Joong Ki dan Song Hye Kyo, Nomor 6 Bikin Patah Hati)

Dari enam perempuan yang disebutkan tadi, hanya tiga orang – Emma Poeradiredjo, Poernamawoelan, dan Siti Soendari – yang ikut menyampaikan pendapatnya lewat pidato.

Sebagian besar dari mereka mengajak perempuan terus ikut andil dalam upaya persatuan dan kesatuan Indonesia dalam rangka meraih kemerdekaannya.

Seperti yang ditulis penulis memoar ‘Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda,’ Mardanas.

“Siti Soendari berbicara dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan oleh Muhammad Yamin. Dia menanamkan bahwa rasa cinta tanah air terutama pada wanita harus ditanamkan sejak kecil dan bukan untuk pria saja,” tulis Mardanas.

Sedangkan Emma Poeradiredjo, aktivis Jong Islamieten Bond cabang Bandung, diceritakan berpidato tentang andil perempuan.

(Ini Lho Momen Tak Terlupakan Tatjana Saphira Saat Syuting Bareng Gong Yoo, Jangan Baper Ya Guys!)

Menurut Mardanas, Emma Poeradiredjo mengajak perempuan agar terus ikut andil dalam pergerakan.

“Ia menganjurkan kepada para wanita agar tidak hanya terlibat dalam pembicaraan, tetapi harus disertai perbuatan,” lanjut Mardanas.

Pada keesokan harinya, tepatnya sidang kedua, Poernamawoelan mendapatkan kesempatan berpidato.

Berbeda dengan dua perempuan sebelumnya, Poernamawoelan yang memang seorang guru, berbicara tentang pendidikan.

Dari pidato Emma Poeradiredjo dan Siti Soendari, bisa dilihat bahwa peran perempuan memang masih sangat minim pada masa itu.


4. Perempuan dimasa itu tak kesempatan untuk ikut berjuang

Ketidaksetaraan gender di masa itu sudah dimulai dari dalam rumah semua orang.

Perempuan oleh orangtuanya hanya diberi wewenang untuk mengurusi tiga hal, yakni dapur, sumur, dan kasur.

Hal-hal lain seperti pendidikan atau pekerjaan dianggap tak penting bagi perempuan.

Kebebasan perempuan dan persamaan hak dengan laki-laki pada masa sebelum kemerdekaan mungkin masih menjadi hal tabu.

Cobalah membaca memoar tentang RA Kartini.

(Korban Ledakan Pabrik Petasan Dapat Uang Kompensasi dari Perusahaan, Ini Rencana Korban)

Ada banyak cerita tentang ketidakadilan pada perempuan, seperti pergaulan dan pendidikan yang dibatasi.

Beberapa catatan sejarah menjelaskan kaum lelaki bisa lebih mudah mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat dan membiarkan perempuan terkubur dalam kebutahurufan.

Itulah yang jadi alasan kenapa tak ada nama pemudi di kata Kongres Pemuda atau Sumpah Pemuda yang jadi tonggak penting perjuangan kemerdekaan.

Namun meskipun bagitu, banyak perempuan yang punya andil penting dalam beberapa peristiwa yang terkait dengan perjuangan kemerdekaan.

(13 Produk Kecantikan Ini Dibilang Unik dan Nyeleneh, Berani Coba?)

Selain RA Kartini, ada nama Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu dan lain-lain yang pernah ikut berjuang untuk Indonesia.

Pada masa kini, perempuan lebih bebas.

Tak ada batas ruang gerak bagi perempuan untuk terlibat di dunia pendidikan, politik, ekonomi maupun budaya dan lain-lain.

Perempuan sudah bisa sejajar dengan laki-laki dan dapat ikut berjuang bagi bangsa Indonesia.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved