Melihat 7 Tahun Perjuangan Rizki Tekuni Bisnis Hingga Gapai Sukses, dari Manual Hingga Online
Punya pekerjaan tetap tak membuat wanita ini berhenti berusaha untuk menekuni bisnis lain, yang lebih menantang dan menghasilkan.
Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Mujib Anwar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Rizki Rahmadianti pada tahun 2010 stres berat karena bisnis konveksi dan busananya anjlok drastis.
Padahal ia telanjur keluar dari pekerjaannya sebagai transmission engineer di sebuah televisi swasta setahun sebelumnya.
Tujuh tahun berlalu, berkat kesabaran dan tekad yang kuat ia berhasil menumbuhkan usaha berkali lipat.
“Setiap pagi saya minum obat pusing ketika itu,” kenang Rizki.
Ibu dua anak ini memulai bisnis pada 2006.
Idenya berawal dari keisengan dan modal nekat kala masih menjadi pegawai.
Di tengah kesibukannya bekerja, dia menyempatkan diri untuk merintis usaha busana.
Dunia yang belum pernah ia jajaki sebelumnya.
Rizki mengenal dunia sulam pita dari seorang rekan lama.
Ia tertarik, belajar secara otodidak, lalu terpikir mengaplikasikannya dalam jilbab untuk dijual.
Hasilnya pun lumayan. Ia sempat memperkerjakan beberapa tetangga untuk membantu.
Konsumennya ketika itu adalah ibu-ibu pengajian. Akan tetapi usaha ini tak berjalan lama.
Isu Hak Kekayaan Intelektual (Haki) produk yang ramai ketika itu mempengaruhi semangatnya.
Produk yang sebelumnya diberi label “Jilbab Ananda” itu pun stagnan.
Rizki sibuk mengurus Haki untuk produk baru dengan merek “Rizhani”.
Pengantian produk meluaskan produksi Rizki hingga ke busana gamis.
Ganti produk, pasar pun bergeser. Rizki sempat menawarkan produknya door to door.
Ia mendekati pedagang busana di pusat-pusat perbelanjaan.
Tapi ia sering ditolak dengan alasan harganya terlalu mahal dibandingkan dengan merek lain di toko-toko.
“Memang kalau dibandingkan dengan produk di Pasar Turi, barang produksiku bisa dua sampai tiga kali lipat harganya. Tapi barangku lebih bagus. Pengerjaannya lebih halus,” kata perempuan kelahiran 9 Februari 1977 ini.
Pada 2007, sarjana Teknik Elektro Universitas Brawijaya ini mulai mengenal dunia online.
Ia pun membuat website untuk memasarkan produknya.
Persaingan pasar busana online, kata dia, belum ketat seperti seperti saat ini.
Website baru berumur sepekan, order sudah mulai berdatangan.
Mayoritas adalah agen dari daerah lain yang ingin menjual ulang hasil produksi Rizki.
Lambat laun jumlah agen yang bergabung sebagai pelanggan, terus bertambah. Tapi Rizki justru gundah.
Kemudian ia mulai berpikir, konsumen akan bisa dapat harga yang lebih murah jika ia bisa langsung menjual ke tingkat eceran.
Hasrat itu tersalurkan ketika ia mengenal media sosial Facebook.
Jika mayoritas orang baru kenal Facebook menggunakannya untuk eksistensi diri, Rizki justru sudah berpikir memanfaatkannya untuk promosi.
Ia mengunggah foto-foto hasil produksinya dan menawarkan ke para pengguna media sosial.
Alhasil, distribusi ke agen jalan, penjualan langsung ke konsumen juga terlayani.
Sebelas bulan usaha berjalan, website untuk menawarkan produk Rizki tiba-tiba menghilang dari dunia maya.
Rizki tak tahu pasti sebabnya. Meskipun demikian, bisnis itu tak banyak terpengaruh. (Aflahul Abidin/M Taufik)