Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Seperti Stephen Hawking, Inilah Kisah Patrick, Pria yang Puluhan Tahun Berjuang Lawan Penyakit ALS

Stephen Hawking yang meninggal dunia pada Rabu (14/3/2018), mengidap gangguan saraf bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).

Penulis: Ani Susanti | Editor: Dwi Prastika
thecelebrityauction.co
Patrick O’Brien 

TRIBUNJATIM.COM - Stephen Hawking yang meninggal dunia pada Rabu (14/3/2018), mengidap gangguan saraf bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).

Sehingga, ahli teori fisika ini kehilangan hampir seluruh kendali neuromuskularnya.

Stephen Hawking didiagnosis menderita penyakit motor neuron, Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) sejak tahun 1963.

(Fisikawan Meninggal Dunia, Stephen Hawking Jadi Trending Topic Twitter, Netizen Dunia Berduka)

Pada tahun 1985, ia terkena penyakit pneumonia dan harus dilakukan trakeostomi sehingga ia tidak dapat berbicara sama sekali.

Seorang ilmuwan Cambridge membuat alat yang memperbolehkan Hawking menulis apa yang ingin ia katakan pada sebuah komputer, lalu akan dilafalkan melalui sebuah voice synthesizer.

Stephen Hawking
Stephen Hawking (exclaim.ca)

Meski mengidap penyakit saraf, Hawking tetap melanjutkan studinya di Cambridge University dan berhasil menjadi salah satu fisikawan paling berpengaruh sejak masa Albert Einstein.

Tak hanya Stephen Hawking, kisah serupa juga dialami oleh seorang pria bernama Patrick O'Brien.

(Kisah Cinta Romantis Gigi Hadid dan Zayn Malik, Bertemu di Pesta hingga Putus karena Kesibukan)

Di tahun 2014, ia membagikan pengalamannya selama hampir 10 tahun menderita ALS.

Kisah hidupnya didokumentasikan menjadi film.

Dilansir dari Kompas.com, inilah pengalaman Patrick yang ia "tuliskan" untuk majalah Time.

1. Cerita Patrick

"Dalam beberapa minggu terakhir ini, dari tempat tidur, saya melihat penyakit yang perlahan-lahan membunuh saya ini telah menjadi tren dalam satu malam.

Hampir setiap malam saya bermimpi tentang makanan. Saya menonton film Goodfellas hanya untuk melihat adegan makanannya. Big Mac tentu saja sangat menarik. Iklan Taco Bell juga tak kalah memprovokasi pikiran saya.

(4 Film Tentang Sosok Sang Jenius Stephen Hawking, Hidup yang Menginspirasi hingga Kisah Asmara)

Namun pada kenyataannya, saya tidak dapat makan, berjalan, dan berlari. Saya bahkan tidak bisa menggerakkan kaki atau tangan. Saya hanya bisa berbaring di kasur dan mengetik artikel ini dengan pupil mata saya. Pupil dan otak, hanya dua bagian tubuh inilah yang masih berfungsi."

2. Awal divonis

"Saya divonis menderita ALS saat berumur 30 tahun. Sejak saat itu, saya telah mendokumentasikan perkembangan penyakit ini hingga hampir 10 tahun. Bulan Oktober nanti, saya akan berumur 40 tahun. Ke mana saja waktu yang saya lewatkan? Film yang saya buat adalah bentuk perlawanan saya terhadap ALS."

3. Membuat film

Patrick O'Brien
Patrick O'Brien (Time)

"Sinematografer saya, Ian Dudley, menggunakan kamera Rusia 35 mm tua dengan lensa yang menakjubkan. Penting bagi saya untuk merekamnya karena ALS adalah penyakit yang sangat berhubungan dengan fisik. Dengan demikian, bila penyakit ini mengambil fisik saya, saya akan menggantinya dengan pita seluloid.

(Yeay! GOT7 Bakal Konser di Jakarta Juni 2018, Fans Indonesia Siap-siap Nabung Nih, Catat Tanggalnya!)

Terlepas dari kerasnya situasi ini, sulit dipercaya bahwa saya masih hidup. Ketika saya melihat banyaknya orang di luar sana yang tidak mendapat dukungan, hati saya hancur. Kadang-kadang, saya juga menangis. Saya beruntung karena bisa tinggal di salah satu permukiman ALS terbaik di sini, Leonard Florence Center for Living di Massachusetts.

Yayasan ini menjadi rumah pertama di AS bagi penderita ALS. Bukan hanya keramahan dan pertolongan pegawai di sana yang membantu saya bertahan hidup hingga saat ini, melainkan dua hal, anak saya yang masih 6 tahun, yang tinggal jauh dari saya di Florida, dan saya harus menyelesaikan film dokumenter saya."

4. ALS menyelamatkan hidupnya

"Ada satu sisi baik dari ALS. Mungkin terdengar aneh, tetapi dalam cara tertentu, ALS justru menyelamatkan hidup saya. Mengidap penyakit parah bisa membuat apa yang telah kita lakukan seolah tidak ada artinya: apa hal buruk yang pernah kita lakukan atau pernah dilakukan terhadap kita.

(Lama Tak Dihebohkan, DJ Sensasional Gebby Vesta Ubah Jalur Karir, Ramai Disebut Balik ke Kodrat)

ALS adalah penyakit yang sempurna. Setiap orang seharusnya merasakan ALS setidaknya sehari saja, termasuk mereka yang ikut dalam #ALSicebucketchallenge di mana-mana. Saya menyebutnya 'baptis kesadaran.'

Sungguh menakjubkan bahwa sebuah penyakit yang pelan-pelan membunuh Anda tiba-tiba terkenal dalam semalam. Ini adalah sebuah cara orang melihat sesuatu yang lebih besar dari diri mereka, untuk menghilangkan ketakutan bahwa siapa tahu yang terkena ALS selanjutnya adalah mereka sendiri.

Saya sudah tidak bisa melakukan apa pun. Saya memilih untuk tidak mengingat betapa mengerikannya statistik penyakit ALS. Belum ada obat yang ditemukan sejak 70 tahun lalu ketika Lou Gehrig menyampaikan pidatonya, 'Orang Paling Beruntung di Dunia.' Saya hanya bisa berbaring, menunggu ulang tahun ke-40, sambil memimpikan dunia luar.

(So Sweet! 10 Ilustrasi Ini Tunjukkan Kedekatan Ayah dan Anak Gadisnya, Mana Nih yang Kamu Banget?)

Namun, kenapa saya masih merasa cemas? Mariyuana medis terkadang menjadi anti-depresan, tetapi saya tidak mengonsumsinya beberapa bulan belakangan karena kesulitan untuk memakainya. Saya takut bahwa gerakan ember es yang sukses tersebut akan segera berakhir. Ya, itu harus berakhir. Rentang kolektif perhatian Amerika mengatakan bahwa tren ini harus berakhir. Padahal, perhatian seperti ini sangat dibutuhkan. Setelah ini selesai, akan ada di manakah kami, para penderita ALS?"

Yuk subscribe YouTube Channel TribunJatim.com

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved