Kembangkan Kampung Susu Sisa Peninggalan Zaman Belanda, Jadi Desa Wisata Pasuruan
Sekitar 28 kilometer arah Selatan dari pusat pemerintahan Kabupaten Pasuruan, ada sebuah desa yang menyimpan banyak sejarah.Desa Kalipucang.
Penulis: Galih Lintartika | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, PASURUAN - Sekitar 28 kilometer arah Selatan dari pusat pemerintahan Kabupaten Pasuruan, a da sebuah desa yang menyimpan banyak sejarah.
Namanya, Desa Kalipucang. Desa ini masuk dalam wilayah teritorial Kecamatan Tutur.
Siapa sangka, Desa Kalipucang ini memiliki beragam potensi yang nisa dikembangkan. Di sektor pertanian, sejak dulu Kali Pucang masyhur sebagai penghasil kopi dan cengkeh. Sedangkan di sektor peternakan, susu sapi perah menjadi salah satu sumber utama penghasilan masyarakat desa.
Kopi, cengkeh dan susu sapi, menurut warga setempat memiliki sejarah yang panjang. “Kopi, cengkeh dan susu Kalipucang memiliki sejarah yang panjang sekali. Bahkan, ketiganya merupakan saksi bisu masa penjajahan.” kata warga setempat, Yamin.
Yamin, mengatakan, sejarah susu perah di Kalipucang dimulai pada 1911 atau bersamaan dengan masuknya Belanda ke wilayah Nongkojajar masuk Kecamatan Tutur. Kala itu, para penjajah kebingungan mencukupi kebutuhan susu yang sangat tinggi, namun minim keadaannya.
Baca: Selamat! Siti Nurhaliza Lahirkan Bayi Perempuan, Nama dan Wajahnya Masih Rahasia, Ini Reaksi Netizen
Atas dasar itu, kata Yamin, para pimpinan Belanda yang bertugas di Nongkojajar mendatangkan sapi perah dari negaranya.
“Belanda merupakan salah satu dari lima negara dengan tingkat konsumsi tertinggi di dunia.Jadi, berdasarkan cerita mbah saya dulu gitu," katanya
Sekadar diketahui, seperti yang dilansir Nationalgeographic.co.id pada Januari 2014, menyebutkan bahwa Belanda merupakan negara dengan tingkat konsumsi terbesar ketiga di dunia(320,15 kg/kapita per tahun).
Selanjutnya, kata Yamin, Belanda membawa sapi perah ke wilayah Nongkojajar dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan susu bagi orang-orang Belanda.
“Jadi, dahulu itu ada banyak sekali sapi yang dibawa ke sini. Sapi-sapi tersebut diarak dan dipamerkan di benteng. Para warga pribumi banyak yang berkumpul untuk melihat sapi-sapi tersebut,” ujar Yamin yang lebih akrab dipanggil Simbah.
Baca: BREAKING NEWS - 6 Anggota DPRD Kota Malang Dikabarkan Jadi Tersangka
Atas keberadaan sapi-sapi tersebut, masyarakat setempat akhirnya juga mendapatkan durian runtuh.
“Masyarakat asli dipaksa oleh orang-orang Belanda untuk beternak sapi perah dan mengikuti kemauan kolonial Pemerintahan Belanda. Padahal kan itu hal baru bagi masyarakat di sekitar sini. Malangnya lagi, Kalipucang adalah sentranya,” ungkap pria yang hampir memasuki usia kepala delapan tersebut.
Hasil perahan susu tersebut diantar dengan jalan kaki atau diangkut kuda menuju benteng. Susu-susu tersebut kemudian oleh pihak Belanda digunakan untuk memenuhi kebutuhan susu para anggotanya yang ada di kawasan Pasuruan. Menurut Simbah, para warga biasanya setor minimal seminggu sekali.
Tidak hanya susu, Belanda juga membawa dua jenis tanaman baru ke Nongkojajar. Apa itu ? kopi dan cengkeh, jenis tanaman yang didatangkan jauh-jauh dari Belanda.
Selain dipaksa untuk beternak sapi, warga setempat diberikan tugas lain untuk membudidayakan dua tanaman tersebut.
Sama halnya dengan susu, hasil panen kopi dan cengkeh tersebut juga disetor minimal seminggu sekali ke Nongkojajar. Beberapa waktu berlalu, pihak Belanda merasa bahwa kopi dan cengkeh yang ditanam di Kalipucang memiliki kekhasan aroma dan rasa yang berbeda dengan komoditas yang sama di tempat lainnya.
Hal tersebut kemudian membuat Belanda menaikkan jumlah setoran kopi dan cengkeh warga
Hariyono, Kepala Desa Kalipucang, menjelaskan, sistem tanam paksa yang kala itu dilakukan oleh Belanda membawa angin segar untuk Kalipucang. Bagaimana tidak, melimpahnya susu, kopi dan cengkeh di Kalipucang hari ini diyakini atau tidak adalah efek dari peninggalan zaman Belanda.
“Tidak ada yang benar dari penjajahan. Namun begitu, besarnya hasil susu, kopi dan cengkeh di Kalipucang adalah andil Belanda juga,” terang Hariyono.
Baca: 10 Foto Tindakan Antimainstream yang Dilakukan Orang-orang ini Bikin Melongo, No 8 Nggak Banget!
Dalam perkembangannya, pelan tapi pasti perkebunan dan pertanian di desa Kalipucang mulai terkikis. Peternakan sapi perah menjadi pilihan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal tersebut tentunya berimbas pada penggantian komoditas pertanian dan perkebunan dengan tanaman rumput sebagai bahan pangan utama ternak sapi.
Kondisi tersebut dipastikan akan terus terjadi bahkan meningkat jika melihat kebijakan pemerintah. Terhitung 2015-2019, Kalipucang dijadikan sebagai “Desa Susu” oleh pemerintah.
"Saat ini, kami memang masih mengembangkan desa wisata Kalipucang. Kami membranding Kalipucang sebagai kampung susu di Kabupaten Pasuruan," tambah dia.
Ia menerangkan, selain susu, Kalipucang juga menyimpan banyak pesona. Banyak wisata alam yang menakjubkan. Maka dari itu, pemerintah desa membuat kelompok sadar wisata (pokdarwis). Kata dia, pokdarwis ini yang akan mengelola konsep desa wisata Kalipucang.
Baca: Dua Ustaz Benarkan Istri Kedua Opick Meninggal, Sebelum Berpulang Ternyata Wulan Pernah Keguguran
"Kemarin, kami siapkan anggaran untuk mengkonsep desa wisata. Selain kampung susu, kami menawarkan paket wisata alam di sini. Jadi, wisatawan tidak hanya menikmati susu, olahan, dan peternakannya, wisatawan juga menikmati wisata alam lainnya. Kami jadikan sebagai paket wisata di sini," tambah dia.
Pelan tapi pasti. Banyak wisatawan yanh mulai berdatangan ke Kalipucang. Mulai dari wisatawan retail atau juga wisatawan kelompok besar.
Kampung Susu memfokuskan pada edukasi sapi perah dari hulu hilir. Berbagai edukasi mulai dari perawatan sapi, pemerahan susu, pengolahan susu hingga menikmati susu segar dijadikan sebagai destinasi untuk disajikan kepada wisatawan.
Selain Kampung Susu, desa ini juga menawarkan beberapa wisata alam yang tak kalah menarik. Sederet destinasi seperti air terjun Sumber Nyonya, 7 Sumber Telogo, kebun krisan, kebun kopi dan bukit Tumang siap memanjakan pengunjung. (Surya/Galih Lintartika)