Menolak Lupa! Inilah Tragedi Trisakti yang Tewaskan 4 Mahasiswa 20 Tahun Lalu
Peristiwa 12 Mei 1998 adalah peristiwa yang mengguncang Indonesia. Tepat 20 tahun lalu, tragedi Trisakti terjadi.
Penulis: Ani Susanti | Editor: Dwi Prastika
TRIBUNJATIM.COM - Peristiwa 12 Mei 1998 adalah peristiwa yang mengguncang Indonesia.
Tepat 20 tahun lalu, tragedi Trisakti terjadi.
Dilansir dari TribunWow, Selasa (12/5/2018), 20 tahun lalu, terjadi insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta.
Insiden penembakan tak hanya menjadi catatan sejarah universitas swasta tersebut, namun juga merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia.
Baca: 7 Fakta Ngerinya Lapas Nusakambangan, Rumah Baru 145 Tahanan Mako Brimob, No 6 ‘Saksi’ Kematian
4 Mahasiswa Tewas Tertembak
Penembakan ini menewaskan empat mahasiswa dan melukai sembilan mahasiswa lainnya yang merupakan awal kebangkitan reformasi dan pemicu yang menjatuhkan rezim pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.
Sasaran penembakan ini dilakukan terhadap mahasiswa yang demonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.
Empat korban yang tewas tersebut adalah, Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1976-1998).
Baca: Ingin Tahu Dahsyatnya Pertempuran 10 November di Surabaya? Yuk Saksikan Teatrikal ‘Teritori Suci’
Mereka tewas seketika usai tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di bagian vital seperti kepala, tenggorokan dan dada.
Hal yang melatar belakangi aksi demo ini adalah, keadaan ekonomi Indonesia yang mulai goyah pada awal tahun 1998.
Kronologi Kejadian
Aksi demo ini dilakukan besar-besaran di Gedung DPR/MPR.
Para mahasiswa Universitas Trisakti melakukakn aksi damai dari Kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara sekitar pukul 12.30 WIB.
Baca: Bareng Lucinta Luna di Karma ANTV, Reaksi Tak Biasa Roy Kiyoshi Bikin Syok Netizen, Lihat Tangannya
Namun aksi mereka harus dihambat oleh blokade dari Polri dan militer yang kemudian datang.
Beberapa mahasiswa yang ada mencoba bernegoisasi dengan pihak Polri.
Pada sekitar pukul 17.15 WIB, para mahasiswa pun memutuskan untuk bergerak mundur, diikuti dengan aparat keamanan yang malah bergerak maju.
Saat itu juga aparat keamanan mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa.
Para mahasiswa menjadi panik dan bercerai berai.
Baca: Orang Tuanya Tewas Mengenaskan, 3 Kesedihan Citra Kharisma ini Menyayat Hati, Terangkanlah Semua
Sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti, namun aparat keamanan terus melakukan penembakan hingga korban berjatuhan dan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang ada di lokasi saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam, serta Pasukan Bermotor.
Satuan pengamanan ini dilengkapi dengan tameng, gas air mata, steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 WIB, dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis.
Baca: 7 Fakta KH Sholeh Qosim Meninggal Saat Sujud, Pesan Terakhir hingga Rencana Dihadiri Jokowi
Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.

Dilansir dari Kompas.com tertanggal 3 Februari 2017, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, termasuk Semanggi I dan Semanggi II (TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi.
Hal ini dibenarkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, bahwa upaya rekonsiliasi telah ditetapkan melalui beberapa kali rapat.
Baca: Resmi Bubar, Ini 8 Fakta JBJ, Boy Group yang Terbentuk dari Imajinasi Fans Produce 101 Season 2
Dan telah diputuskan bahwa jalur non yudisial merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus TSS.
Hal ini diungkapkannya pada saat ditemui di Hote Sari Pan Pasific, Jakarta Pusat, Kamis 2 Februari 2017 silam.
Menurut Yasonna, keputusan tersebut salah satunya berangkat dari alasan Kejaksaan Agung yang kesulitan dalam mencari alat bukti dalam proses penyidikan.
Dengan demikian kasus TSS mustahil untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc.
Baca: Ingat Video Polisi Minta Maaf ke TNI? Usai Viral di Medsos, Begini Nasib Kapolres Karawang Sekarang
Selain itu, kata Yasonna, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc dibutuhkan persetujuan dari DPR.
Meski demikian, Yasonna mengakui bahwa pemerintah belum menemukan konsep rekonsiliasi yang tepat untuk menyelesaikan kasus TSS.
Untuk membuat konsep rekonsiliasi tersebut, lanjut Yasonna, Presiden Joko Widodo akan membentuk sebuah tim perumus yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan pegiat HAM.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.
Baca: 3 Fakta Napi Teroris Keji Siksa Polisi yang Gugur di Mako Brimob, Sosoknya Terungkap Lewat Benda ini
Saat coba dikonfirmasi, Wiranto membenarkan adanya rencana rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus TSS.
Namun, Wiranto belum bisa menjelaskan konsep rekonsiliasi yang akan diterapkan oleh pemerintah.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc.
Menurut Imdadun, selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Imdadun menjelaskan hal tersebut saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).
Imdadun menuturkan, dengan kondisi politik saat ini, sulit jika upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya mengandalkan satu opsi.
Baca: Umi Pipik Sebut Terzolimi, Istri Sunu Matta Ungkit Soal Maling, Masih Saling Sindir? Netizen Kasihan
"Bagaimana caranya (rekonsiliasi) masih akan kami bicarakan dalam hal ini Komnas menjaga agar prinsip-prinsip HAM dalam rekonsiliasi itu terpenuhi," ucapnya.
Namun pada Kamis 2 Februari 2017, Imdadun mengatakan, penyelesaian kasus TSS tak sepenuhnya dituntaskan lewat rekonsiliasi.
"Jadi saya tekankan tidak ada kesepakatan bahwa pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan murni dengan metode non pro-justicia atau pro-justicia. Komnas HAM hingga hari ini menempuh dua cara, yudisial dan non-yudisial," ujar Imdadun.