Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Soekarno Wafat 48 Tahun Lalu, Megawati Buka Keluarga Sempat Tak Setuju Ayahnya Dimakamkan di Blitar

Tak banyak yang tahu, ternyata keluarga pernah tak setuju Bung Karno dimakamkan di Blitar. Begini kata Megawati

Penulis: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Januar
istimewa
Megawati dan Soekarno 

TRIBUNJATIM.COM, BLITAR - Bulan Juni memiliki tempat yang istimewa bagi bangsa Indonesia.

Bulan keenam dalam satu tahun itu merupakan bulan peringatan bagi pemimpin 'bersejarah' seorang proklamator sekaligus tokoh yang membawa Indonesia melewati gerbang kemerdekaan, Ir Soekarno.

Juni merupakan bulan kelahiran dan kepergian Presiden Pertama Republik Indonesia yang kerap disapa Bung Karno itu.

Sukarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901, dirinya juga wafat pada bulan yang sama di tanggal 21 tahun 1970.

Baca: Datang Halal Bi Halal ke Rumah Sepupu, Mantan TKW Kalap Tusukkan Pisau Dapur, 2 Orang Jadi Korban

Hari ini, Kamis (21/6/2018) merupakan hari wafatnya Presiden Indonesia yang pertama, Ir Soekarno.

48 Tahun berlalu kepergian Presiden Sukarno masih menyisakan cerita 'memprihatinkan' di baliknya.

Diketahui, Seokarno sempat mengalami gangguan pada kesehatanya.

Dikutip dari Wikipedia, Soekarno telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.

Baca: Politisasi Agama Gencar Jelang 2019, Ketum PPP Ungkap Info Penting, Terkuak Sosok Jokowi Sebenarnya

Namun, kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.

Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat, tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.

Seokarno bertahan selama 5 tahun hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Tepat pada Minggu (21/6/1970), Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.

Baca: Politisasi Agama Muncul Jelang 2019, Ketum PPP Ungkap Info Penting, Terkuak Sosok Jokowi Sebenarnya

Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan.

Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.

Baca: Kondisinya Memprihatinkan, 5 Balita Terlantar di Kamar 4 Hari, Orangtuanya Sempat Bikin Pak RT Kesal

Keinginan Seokarno yang Belum Terwujud

Rupanya, ada keinginan Seokarno yang tak sempat terwujud

Soekarno sempat meminta untuk di makamkan di Kebun Raya Bogor jika meninggal.

Namun, jasad Seokarno dimakamkan di kota Blitar.

Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.

Baca: 8 Fakta Baru Pasutri Telantarkan Anaknya di Kamar 4 Hari, Warga Sampai Tidak Mau Ketemu Mereka Lagi

Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.

Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya.

Soekarno juga sempat menuliskan sepucuk surat sebelum kepergiannya.

Surat tersebut ditunjukkan untuk putra sulung kebanggaannya, Guntur Sukarnoputra.

Dikutip dari Pos Belitung, dalam wasiat terakhirnya untuk Guntur itu, tersirat harapan besar Sukarno pada Guntur untuk bisa menjadi sosok berani seperti dirinya.

Baca: Terungkap, Timnya Kalahkan Kolombia di Piala Dunia, Suporter Jepang Malah Berbuat Begini di Stadion

Soekarno ingin putra yang sering dipanggilnya Tok itu untuk tampil dan membuktikan bahwa dirinya pantas menjadi penerus sang ayah.

"Tok, engkau adalah anak sulung Putra Sang Fajar. Sebab, bapakmu dilahirkan pada waktu fajar menyingsing."

"Fajar 6 Juni yang sedang mereka di ujung timur. Dan engkau lahir pada tahun keberanian, juga menjelang fajar 3 November saat mana hegemoni kekuasaan Jepang semakin suram sinarnya."

"Nah, seperti halnya bapakmu, engkau pun pantas menyambut terbitnya matahari."

Baca: Pengakuan Sopir Bus yang Bisa Kenali Ciri-ciri Copet, Tak Berani Tegur Lagi Karena Alami Hal Tragis

"Jadilah manusia yang pantas menyambut matahari terbit," tulis Sukarno dalam surat yang diungkapkan Guntur dalam bukunya 'Bung Karno, Bapakku Kawanku dan Guruku'.

"Ingat, yang pantas menyambut terbitnya matahari itu hanya manusia-manusia abdi Tuhan, manusia-manusia yang manfaat."

"Karena itu jangan cengeng! Buktikan kepada setiap orang yang menatapmu, bahwa engkau memang pantas menjadi anak sulung Sukarno," tutup Sukarno.

Namun sayang, Guntur malah tak tertarik untuk terjun ke dunia politik, hidupnya kini juga jauh dari publikasi.

Baca: Ibu Tega Siksa Anaknya hingga Tewas, Bermula dari Keinginannya Membeli Layang-layang Rp 26 Ribu

Padahal, dulu Guntur merupakan sosok yang diharapkan banyak masyarakat untuk bisa menggantikan kharisma Bung Karno.

Tak Punya Uang untuk Berobat

Situasi politik nasional pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 mengalami banyak perubahan.

Khususnya untuk Presiden Soekarno yang kekuasaannya berkurang secara perlahan dan berpindah ke tangan Presiden Soeharto.

Tidak hanya kekuasaan yang berkurang dan menghilang, kondisi kehidupan Soekarno juga berubah drastis.

Kisah kehidupan Soekarno pasca-Supersemar dituturkan oleh salah satu mantan ajudannya, Sidarto Danusubroto.
Sidarto adalah anggota kepolisian yang menjadi ajudan terakhir Bung Karno.

Saat dijumpai Kompas.com di kediamannya, Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016), Sidarto mengungkapkan bahwa masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto berjalan panjang.

Dalam buku Memoar Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno yang ditulis Asvi Warman Adam, Sidarto mengungkapkan bahwa pasca-Supersemar, Soekarno semakin tidak berdaya. Sang proklamator pun tidak mendapat kejelasan mengenai pembayaran gaji serta uang pensiun seorang Presiden.

Sampai pada di satu titik, Soekarno kehabisan uang untuk pegangan atau sekadar untuk menutup keperluan hidup selama menjadi tahanan kota di Wisma Yaso. Sidarto masih ingat ketika Soekarno memintanya mencarikan uang.

"Ini tidak mudah karena saat itu orang takut berhubungan dengan Soekarno," ungkap Sidarto dikutip dari Kompas.com

Soekarno lalu meminta Sidarto menemui mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka, Tukimin. Dari Tukimin, Sidarto berhasil memeroleh uang tunai 10.000 dollar AS untuk diberikan kepada Soekarno.

Selanjutnya, Sidarto mencari cara agar uang tersebut lolos dari pemeriksaan penjaga dan sampai ke tangan Soekarno. Ia lalu memasukkan uang itu ke dalam kaleng biskuit dan meminta Megawati Soekarnoputri menyerahkannya kepada Soekarno.

"Megawati yang mengantarkannya, dan bisa lolos," ucap Sidarto.

Selama menjadi ajudan Soekarno, Sidarto sempat menyaksikan beberapa upacara kenegaraan termasuk proses penyerahan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto pada 20 Februari 1967.

Sejak saat itu, secara de facto dan de jure kekuasaan berpindah dari Soekarno ke Soeharto.

Selain tidak mendapatkan uang dari negara, semua fasilitas kenegaraan juga dibatasi ketat untuk Soekarno.

Termasuk fasilitas dokter kepresidenan untuk memeriksa kesehatannya.

Pada awal 1968, Soekarno dikenai tahanan rumah dan dibatasi aktivitasnya termasuk untuk bertemu keluarga.

Sidarto ditarik dari posisinya sebagai ajudan Soekarno oleh Polri Pada 23 Maret 1968. Kondisi kesehatan Soekarno yang semakin menurun dianggap lebih memerlukan dokter ketimbang ajudan.

Megawati ungkap keluarga tak setuju Bung Karno dimakamkan di Blitar

Haul Proklamator RI, Bung Karno ke 48 diselenggarakan di Makam Bung Karno, Bendogerit, Kota Blitar, Rabu (20/6/2018).

Dalam kesempatan tersebut, Putri Bung Karno, yaitu Megawati Soekarnoputri berkesempatan memberikan sambutan sebagai perwakilan dari keluarga besar Bung Karno.

Presiden ke 5 tersebut menceritakan bagaimana perjuangan ayahnya bukan hanya dalam memerdekakan Indonesia tapi juga bangsa-bangsa lain yang terjajah.

"Dedikasi Bung Karno kepada bangsa dan negara baik dalam pemikiran maupun karya dan perjuangannya sangat luar biasa. Tidak heran rakyat Indonesia menyebut beliau proklamator, bapak bangsa dan juga sering disebut penyambung lidah rakyat Indonesia," kata Megawati.

Air mata Megawati mulai menetes saat menceritakan bagaimana kehidupan Bung Karno di akhir-akhir umurnya.

Yang justru harus dibuang dan dipenjara oleh pemerintah yang baru.

"Saya ikhlas dibuang, dipenjara, karena saya yakin suatu saat kita akan punya negara dan bangsa, itu yang diceritakan Bung Karno kepada kami, anak-anaknya," ujar Ketua Umum PDI Perjuangan ini.

Ketika Bung Karno meninggal, Megawati menceritakan bahwa keluarga tidak menyetujui untuk dimakamkan di Blitar.

"Tetapi karena pada waktu itu pemerintahan begitu keras, jadi seluruh keluarga akhirnya merelakan untuk dimakamkan disini," lanjutnya.

Ketika jenazah Bung Karno sampai di Kota Blitar, Megawati mengatakan banyak rakyat yang datang untuk mengantarkan jenazah Bung Karno.

"Padahal waktu itu, masyarakat tidak boleh banyak yang datang dan sangat dijaga dengan kuat, tetapi saya masih ingat arus dari rakyat itu tidak ada yang bisa membendung karena rakyat memang mencintai beliau," kata Megawati sambil menyeka air matanya.

Bahkan tidak cukup sampai di situ, Megawati menganggap telah terjadi Desoekarnoisasi yang bertujuan untuk menghilangkan ide dan gagasan yang telah dibangun oleh Bung Karno di negara yang telah dimerdekakannya sendiri.

"Tapi saya bilang kepada ayah saya, kami meminta ijin pada beliau, kali ini bapak, saya terjunkan salah satu cucu kamu yaitu Puti Guntur Soekarno, saya minta kepada rakyat Jatim untuk bisa menghargai Bung Karno dengan memenangkan cucunya bagi Jatim," kata Megawati.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved