Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Pengamat: #2019GantiPresiden Manfaatkan Ambiguitas Hukum, Berpotensi Pancing Konflik Horizontal

Gerakan #2019gantipresiden menjadi sebuah fenomena baru menjelang Pilpres 2019.

TRIBUNJATIM.COM/NURUL AINI
Massa aksi #2019gantipresiden berkumpul di area Tugu Pahlawan Surabaya pada Minggu (26/8/2018) 

Maka tersajilah 'pertarungan' kedua kelompok, baik di dunia maya hingga di dunia nyata.

Dari sisi psikologi politik, titik inilah yang menjadi awal dimulainya konflik horizontal masyarakat.

"Sebagian bilang ganti presiden, sebagian lainnya bilang kami enggak mau ganti, disertai unsur-unsur provokasi masing-masing," kata Hamdi.

(Bayar Uji Kir Kendaraan Kini Wajib Pakai E-money, Caranya Mudah Banget Lho)

(Sempat Mengelak, Pegawai Stan Food Court Mall di Surabaya Akhirnya Mengaku Curi Smartphone Pelanggan)

"Dua kubu semakin radikal, semakin mengeras. Situasi inilah yang saya sebut berpotensi menyulut konflik horizontal di masyarakat. Oleh sebab itu jangan ini dianggap main-main," lanjut dia.

Tanda-tandanya sudah mulai terjadi, kelompok yang satu menolak kehadiran kelompok yang lain.

Kelompok yang satu mencaci kelompok yang lain, kelompok yang satu, juga mengancam kelompok yang lain dan sebagainya.

Atas kondisi ini pula, maka Hamdi sepakat dengan aparat keamanan yang terpaksa membubarkan mobilisasi massa tagar #2019gantipresiden.

Tindakan itu didasarkan murni atas alasan keamanan.

Polisi tidak boleh ambil risiko terjadinya gesekan antarmasyarakat yang lebih besar dan luas.

(Membahas Dua Kubu dalam Aksi Deklarasi #2019GantiPresiden Menurut Pengamat Politik)

(Ramalan Zodiak Rabu 29 Agustus 2018, Cancer Dapat Teguran Bos, Leo Akan Dihampiri Hal Baik)

Hamdi menolak pandangan yang menyebut 'pembubaran tersebut dinilai membatasi kebebasan berekspresi'.

Ia menegaskan, secara obyektif, kampanye tagar #2019gantipresiden faktanya dibumbui kalimat dengan unsur provokasi, rentan ujaran kebencian dan hasutan.

Ia memberikan contoh apa yang dikatakan salah satu pegiat kampanye tagar itu, Neno Warisman.

"Narasinya Neno Warisman itu, 'mari kita Perang Badar', itu saya setuju apabila disebut sebagai salah satu provokasi, menebar kebencian terhadap kelompok lain," tuturnya.

"Yang dinamakan kebebasan dalam berpendapat itu, misalnya menuntut harga bahan pokok turun, menuntut BBM murah, tenaga kerja asing dikurangi, itu silahkan. Tapi tidak dengan memprovokasi. Ingat, masyarakat juga menginginkan ketenangan dan keamanan," tambah Hamdi.

(Bayar Uji Kir Kendaraan Kini Wajib Pakai E-money, Caranya Mudah Banget Lho)

(Sempat Mengelak, Pegawai Stan Food Court Mall di Surabaya Akhirnya Mengaku Curi Smartphone Pelanggan)

Hamdi pun menyoroti minimnya keteladanan elite politik di tengah situasi ini.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved