Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Pria Ini Menyesal Ikut ISIS Karena Tak Kuat Beli Budak Pemuas Nafsu, Nikahi 2 Perempuan Pun Cerai

Mark John Taylor, anggota ISIS asal Selandia Baru, mengaku menyesal bergabung dengan ISIS karena tidak bisa mendapatkan budak seks.

Editor: Adi Sasono
TWITTER
Mark John Taylor, anggota kelompok ISIS, yang mengaku menyesal gabung kelompok itu karena tidak bisa mempunyai budak pemuas nafsu. 

TRIBUNJATIM.COM, BAGHOUZ — Sekitar 1.000 anggota kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) diyakini kini bertahan dari gempuran Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat (AS).

Mereka bertahan di Baghouz, sebuah kota kecil dekat Sungai Efrat di Suriah, sementara puluhan ribu warga kota itu memilih pergi, menghindari pertempuran yang kian sengit.

Di antara para pengungsi ada sejumlah anggota ISIS yang menyerah dan menganggap kelompok itu sudah tidak bisa bertahan lagi.

Di antara mereka yang menyerah itu terdapat Mark John Taylor, militan ISIS asal Selandia Baru.

Alasan Mark John Taylor menyerah terdengar agak aneh, setidaknya dibandingkan anggota ISIS lain yang memilih jalan serupa.

Mark John Taylor, mengaku menyesal bergabung ISIS karena tidak bisa mendapatkan perempuan sebagai budak seks.

Dilaporkan Daily Mirror, Senin (4/3/2019), ISIS membawa perempuan dari kelompok minoritas Yazidi dan memperlakukan mereka sebagai budak seks.

Berbicara kepada ABC dari selnya di Suriah, Taylor mengungkapkan, alasan utama penyesalannya adalah harga perempuan Yazidi sangat mahal.

Untuk mendapatkan perempuan Yazidi berusia di atas 50 tahun, misalnya, Taylor harus merogoh kocek hingga 4.000 dollar AS atau Rp 56,5 juta.

"Untuk membeli yang paling muda, Anda harus mempunyai uang hingga 20.000 dollar AS (sekitar Rp 282,8 juta)," papar Taylor.

Pria yang juga dikenal dengan nama Mohammad Daniel maupun Abu Abdul Rahman itu membakar paspor Selandia Baru ketika bertolak ke Suriah pada 2014.

Karena tidak mendapatkan budak seks Yazidi, Taylor pun menikah dengan dua perempuan Suriah.

Namun, pernikahannya tidak berlangsung lama. Ketika ditanya apakah dia berniat memiliki budak untuk berhubungan seks, dia menjawab tidak ingin melakukan pemaksaan.

"Tidak memaksa, tidak. Ini seperti berhubungan layaknya pacar," ucap mantan tentara yang diyakini berusia 40 tahun tersebut.

Taylor sempat dipenjara oleh ISIS ketika dia lupa mematikan fitur penanda geografi di Twitter pada 2014 sehingga memaparkan lokasi kelompok itu.

Kini setelah ISIS dilaporkan hanya tinggal menguasai Desa Baghouz, dia yang ditangkap pasukan Kurdi berujar ingin pulang.

Dia meminta maaf karena di masa lalu sudah menimbulkan masalah. "Saya tidak tahu apakah saya bakal diizinkan kembali atau tidak," katanya.

Taylor menuturkan, selama bergabung dengan ISIS, dia tidak turun di garis depan.

Dia bertugas sebagai penjaga di perbatasan dengan pemerintah Suriah.

Permintaan Taylor itu mendapat tanggapan dari Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang mengatakan, dirinya memang punya hak di bawah hukum internasional.

Namun, kepada NZT, Ardern menjelaskan, sangat sulit memulangkan Taylor karena dia tidak mempunyai dokumen perjalanan setelah paspornya dibakar sendiri.

Perempuan Yazidi di Mata ISIS

Seperti diketahui kelompok ISIS menjadikan ribuan perempuan etnis Yazidi sebagai budak seks yang bisa diperdagangkan.

"Bagi ISIS, para perempuan Yazidi adalah barang dagangan,” kata Dr Mirza Dinnayi. Dinnayi adalah salah satu perunding yang mengontak milisi tertentu untuk membebaskan perempuan-perempuan Yazidi yang disekap ISIS.

“Saat ISIS mundur (akibat gempuran kekuatan anti-ISIS), mereka mambawa serta barang-barang berharga, seperti emas dan uang kontan," kata Dinnayi.

"Perempuan-perempuan yang mereka sekap juga mereka bawa pergi. Makanya di daerah bekas kekuasaan ISIS, kami tak menemukan banyak tawanan perempuan. Bagi ISIS, perempuan bisa dijual," kata Dinnayi.

Dinnayi melacak dan menemukan perempuan-perempuan Yazidi yang melarikan diri untuk kemudian dirawat dan dibawa ke tempat-tempat perlindungan di Jerman atau ke negara Eropa lainnya.

Berbeda dengan Dinnayi, Abu Shuja harus mengeluarkan uang untuk membebaskan perempuan-perempuan Yazidi yang disekap dan diperbudak oleh ISIS.

Dengan kata lain, ia 'membeli' perempuan Yazidi yang ingin ia bebaskan.

Prosesnya melibatkan perundingan soal harga dan jika disepakati, ia akan menemui milisi ISIS di Suriah, membayar harga dan kemudian membawa perempuan tersebut.

"Harga perempuan Yazidi berkisar antara 7.000 hingga 15.000 dollar (atau sekitar Rp 93 juta hingga Rp 200 juta)," kata Abu Shuja.

Ia menolak bahwa apa yang ia lakukan ini sama saja dengan membantu kelompok ISIS.

"Uang dari penjualan para perempuan Yazidi tak pernah masuk ke kas organisasi atau ke para pemimpin mereka," katanya.
"Uang penjualan masuk ke kantong anggota atau milisi di lapangan. Para pemimpin ISIS tak mengetahui praktik ini."

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tak Bisa Mendapat Budak Seks, Pria Ini Menyesal Gabung dengan ISIS"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved