Faldo Maldini Sebut Prabowo Tak Akan Menang Sidang Sengketa Pemilu di MK: Pasti Lu Pengen Bully Gue
Inilah alasan Faldo Maldini mengatakan Prabowo tak akan menang dalam sidang sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Penulis: Elma Gloria Stevani | Editor: Adi Sasono
TRIBUNJATIM.COM - Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini menyebut calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak akan menang sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Faldo Maldini blak-blakan mengungkapkan pernyataannya tersebut lewat channel Youtube miliknya “Faldo Maldini” pada Minggu, (16/6/2019).
Namun, Faldo Maldini mengakui, videonya kali ini akan menimbulkan polemik.
“Pasti lu ingin bully gue nih. Hasrat untuk memberikan komentar baik di Instagram atau di YouTube akan semakin membuncah besar karena pernyataan gue. Tapi cobalah untuk untuk tonton video ini dan tidak menghakimi karena hanya membaca judulnya saja,” jelas Faldo Maldini.
Kemudian, Faldo Maldini mengawali topik dengan membicarakan tentang Prabowo-Sandiaga yang tak mungkin menang karena soal kuragnya suara Prabowo-Sandiaga jika dibandingkan perolehan suara capres dan cawapres nomor urut 01 dan itu akan jadi alasan susahnya kubu 02 untuk menang di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Jadi, secara legal dan formal dari sisi kuantitatif, selisih antara kedua pasangan paslon 01 dan paslon 02 sekitar 17 juta suara Untuk membuktikan adanya kecurangan dalam penghitungan suara, setidaknya lo bisa membuktikan 50 persen lebih dari 17 juta itu terjadi kecurangan,” terang Faldo Maldini.
“Dari 17 juta suara, Jika 50 persen dibagi dua, maka butuh 8,5 atau 9 juta suara menunjukkan potensi kecurangan dalam hasil perhitungan dan itu dibuktikan dengan C1 asli yang dimiliki oleh saksi.
Sehingga, untuk mendapatkan 9 juta suara itu, coba kita bagi rata per TPS (.red Tempat Pemungutan Suara).
Di seiap TPS menghasilkan maksimal 250 suara. Kemudian dibagilah 9 juta suara dengan 250 suara. Itu artinya, Prabowo-Sandiaga harus memenangkan suara 100 persen di 30 ribu atau 36 ribu lah TPS.
Pada pemilihan umum pada 17 April 2019 sebanyak 800 ribu lebih TPS tersebar di seluruh Indonesia. Bayangkan saja, jika Prabowo-Sandiaga hanya menang 50 persen di 36 ribu TPS, maka ada penjumlahan satu TPS yang dibutuhkan C1-nya.
Semakin kecil kemenangan Prabowo-Sandiaga, semakin banyak jumlah TPS yang dibutuhkan,” papar Faldo Maldini.
Dengan apa yang sudah dipaparkan Faldo, ia menjelaskan sangatlah berat bagi pihak Prabowo-Sandiaga untuk membuktikan kecurangan di 200 ribu TPS.
“Asumsi gue, Jika pemungutan suara dilakukan ulang, kemungkinan besar Prabowo-Sandiaga menangnya hanya sekitar 5 sampai 10 persen dari ratusan ribu TPS yang kita butuhkan
Katakanlah 200 ribu TPS yang dibutuhkan. Boleh dikata, 200 ribu itu seperempat dari total TPS di Indonesia. Menurut gue, sangat berat untuk membuktikan bukti 200 ribu TPS beserta C1-nya degan ukuran TPS yang tersebar se-pulau Jawa," kata Faldo.
Namun, Faldo berpandangan, gugatan-gugatan BPN Prabowo-Sandiaga dan Bambang Widjojanto adalah wujud dari ketidakpercayaan mereka pada proses pemilu.
Ia menilai hal yang dilakukan itu adalah dalil legitimasi pemilu untuk kemenangan 01, sehingga pihak 01 punya PR untuk memulihkan kembali trust public.
"Padahal, sejatinya pendukung 02 adalah rakyat Indonesia yang dibutuhkan perannya untuk membangun Indonesia ke depan," terang Faldo Maldini.
Bahkan, Faldo Maldini mengakui kejelian dari Tim Hukum Prabowo-Sandiaga dalam memberikan argumentasi terkait setiap tindakan yang dilakukan oleh Joko Widodo.
“Dan guwe mengakui lah, bahwa Tim Hukum Prabowo-Sandiaga ini sangat jeli sih memberikan argumentasi untuk setiap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pak Jokowi.
Lantaran, seorang petahana lebih terikat aturan dibandingkan penantang. Ya, pihak 01 terikat dengan protokoler negara dan aturan-aturan yang lainnya. Misalnya, kita mengambil contoh ketika Pak Jokowi melakukan peresmian tol di Lampung. Pada pagihari, Joko Widodo meresmikan jalan tol di Lampung, kemudian, pada siang harinya, Joko Widodo kampanye di sana. Pertanyaannya, bagaimana bisa Pak Jokowi pergi ke Lampung dengan menaiki pesawat atau fasilitas negara dan sanggup melakukan kampanye.
Sebenarnya, gue bisa melihat Tim Hukum 01 dapat menemukan argumentai untuk membenarkan tindakan itu, karena memang di aturan cuti kampanye untuk presiden atau kandidat tidak ada aturannya cuti satu hari penuh. Sehingga, cuti tidak hanya satu hari saja. Boleh saja melakukan cuti di setengah hari atau seperempat hari atau cuma beberapa jam dalam sehari,” ujar Faldo Maldini.
Selanjutnya, Faldo Maldini membahas Bambang Widjojanto yang mempermasalahkan posisi Ma’ruf Amin sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Bank Mandiri Syariah dan Bank BNI Syariah.
“Mengenai Kyai Ma’ruf Amin, pihak 01 membuat argumentasi bahwa Dewan Pengawas Syariah itu bukan bagian dari pejabat BUMN. Jadi, tidak ada masalah kalau kata Tim Hukum 01. Bisa diibaratkan Garuda yang 50 persen sahamnya masih milik negara. Tapi belum tentu dimiliki oleh anak perusahaannya, bisa aja dimiliki oleh private gitu loh.
Tapi di sisi lain ada argumentasi Tim Hukum 02 soal sumber pendanaan yang dipakai oleh anak perusahaan itu sendiri, di mana Bank Mandiri Syariah dan BNI Syariah sumber pendanaannya dari negara. Contoh ketika seorang kakek memberi uang ke anaknya. Kemudian, si anak memberikan uang kepada kakeknya. Berarti uang tersebut milik si cucu. Itu artinya, sumber pendanannya dari negara semua. Nah itu lah alasan yang dipakai oleh Tim 02 untuk menyerang Tim 01,” papar Faldo Maldini.
Selain itu alasan lain terntang ketidakpercayaan Faldo akan adanya pemilu ulang yang diadakan lagi.
"Menggugat di MK itu adalah hal yang konstitusional, tentu menciptakan sebuah pertanyaan ‘terus di MK ini gimana nih’?," kata Faldo.
“Pertama, pemungutan suara ulang jika seandainya benar-benar mencari bukti seperrti yang sudah gue sampaikan di awal tadi," katanya.
"Bisa dibuktikan oleh tim 02 misalnya di 200 ribu TPS yaudah berarti akan diadakan atau dilakukan pemungutan suara ulang oleh KPU berdasarkan keputusan MK dan itu disebut pemunguntan suara ulang atau PSU."
"Yang kedua pendiskualifikasian kandididat atau kandidat di diskualifikasi, KPU akan menginterpresatai ini sebagai tidak menggunakan Prabowo tapi melakukan proses pemilu dari awal."
Menurutnya, proses pemungutan suara ulang akan lebih suasah dan panjang prosesnya.
"Untuk mencari presiden, dan mengulang kembali proses pencarian presiden dari awal, maka akan terjadi kekosongan posisi presiden atau pemimpin negara"