PSBB Surabaya
Penerapan PSBB di Surabaya, Sejumlah Warung Merugi dan Pilih Tetap Buka
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran wabah virus Corona
Penulis: Christine Ayu Nurchayanti | Editor: Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - memasuki hari ke-10, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus mata rantai penyebaran wabah virus Corona atau Covid-19.
Satu poin dari kebijakan yang akan berlangsung sampai Senin (11/5/2020) mendatang ini yakni pembatasan aktivitas di malam hari sejak pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB.
Hal ini pun memberikan dampak terhadap usaha makanan dan minuman yang aktif di malam hari, misalnya warteg dan warkop.
Seperti yang terjadi kepada Firman Sugiarto alias Juan, seorang penjual nasi goreng di kawasan Bronggalan. Sejak PSBB, ia kehilangan 50 persen pendapatannya.
"Awalnya turun 70 sampai 80 persen. Akhirnya saya hidupkan lewat media sosial, banyak juga akun kuliner yang membantu. Sekarang bisa naik lah, mungkin sekitar 40 sampai 50 persen. Meskipun tetap tidak seusai target penjualan," katanya kepada TribunJatim.com.
• PT Angkasa Pura I Siapkan Posko Pemeriksaan di Bandara Juanda
• Baru Terkuak Cara Bicara Didi Kempot sebelum Wafat, Asisten Sebut Ngelantur saat di Hotel: Ada Apa?
• 17 Macam Kurma yang Populer di Dunia, Jenis Favorit Nabi hingga Tekstur Krispi dan Berwarna Biru
Untung saja, lanjut Juan, ia sudah memiliki pelanggan setia. Hal ini membuatnya tetap memilih tetap berjualan nasi goreng ketimbang usaha yang lainnya.
"Saya kan jualan di tempat. Ramainya pas sore, kalau malam sepi, tapi kadang sebaliknya juga. Layanan ojek online juga membantu pemasaran, talu kami tidak ada diskon. Penghasilan cukup dipakai belanja di pasar saja sudah alhamdulilah. Beberapa bahan produksi ada yang naik, seperti bawang bombai," tandasnya kepada TribunJatim.com.
Penurunan omzet yang signifikan juga kepada Agung Priambodo, pemilik warung kopi di kawasan Kali Kepiting Surabaya.
"Yang pasti, PSBB sangat berdampak, apalagi terhadap usaha makanan dan minuman. Bukanya hanya boleh jam 9 malam, tidak boleh duduk untuk nongkrong, bolehnya take away. Orang-orang ya mikirnya mending nggak usah beli kopi di warung," katanya.
Jika sebelumnya target omzet bisa mencapai 100 persen, kini hanya tersisa 10 persen. Menurut Agung, yang penting bisa menutupi gaji empat orang pegawainya.
"Sebagai pemilik warung juga dilema mau tutup atau enggak. Kami di sini juga tetap membayar sewa. Karena mempertimbangkan pegawai yang masih muda, akhirnya saya berprinsip tetap buka asal bisa nutup gaji karyawan. Selebihnya rugi, menutupinya ya kuat-kuatan di modal saja," urainya.
Jika biasanya ada empat shift work, kini Agung hanya memberlakukan tiga shift. Costumer yang membeli biasanya untuk berbuka puasa, seperti teh hangat. Selebihnya tidak ada.
"Untungnya saya ada kerjaan lain sebagai pegawai swasta. Di warung saya, hampir setiap hari ada razia. Anehnya, banyak warung kecil sekitar yang boleh tetap ada meja kursi untuk pembeli, yang disorot hanya beberapa warung yang besar. Kalau misalnya ingin memutus penyebaran Covid-19, seharusnya ditertibkan semua. Selain itu, kalau begini kan bisa jadi pembeli saya lebih milih di sana," pungkasnya. (christine Ayu/Tribunjatim.com)