Kisah Getir Kakek Blitar Jualan Arbanat Keliling, Jalan 50 Kilo Tiap Hari, Penghasilan Hanya 35 Ribu
Perjuangan hidup Sumadi kakek berusia 68 tahun asal Desa Kamulan, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar mungkin bisa jadi motivasi buat anak muda saat ini
Penulis: Imam Taufiq | Editor: Sudarma Adi
"Si pemilik rumah mungkin kasihan melihat saya tak bisa berjualan dan pulang malam hari denggan berjalan kaki. Akhirnya, saya diantarkan dan malah diberi uang (yang katanya lebih dari cukup jika dibandingkan dengan penghasilannya seharian itu)," ungkapnya.
Karena sudah bertahun-tahun berjualan keliling, ia mengaku mengenal dengan baik daerah atau perkampungan yang dilewatinya. Termasuk, penduduknya. Mungkin, dibandingkan dengan pejabat lokal, kakek Sumadi lebih paham lah.
Istilah dia, ada ibu yang akan hamil bahkan lagi hamil pun, dirinya mengaku tahu dan mengenalnya. Termasuk, calon kades yang akan jadi atau tidak, ia bisa menebaknya karena mendengar dari suara warganya.
"Wong, setiap hari kami lewati, ya akhirnya saling kenal dengan baik. Bahkan, meski sering menahan lapar, namun kami nggak pernah sangu makanan dari rumah. Sebab, banyak kenalan yang memberinya," tuturnya.
Bahkan, ada pengalaman yang tak pernah dilupakan. Ia dulu pernah kesasar ke tempat yang sepi atau di perkebunan cengkeh. Itu berada di Desa Nyawangan, Kecamatan Doko.
"Sepi dan tak ada rumah, hanya perkebunan sejauh saya berjalan kaki 7 km. Ya, nggak ada yang beli, wong nggak ada perkampungan. Akhirnya, saya sampai di Desa Resapomboh. Saat itu, cuma dapat uang Rp 35.000 (padahal kalau habis dapat Rp 125 ribu)," ujarnya.
Memang, di telinga orang sekarang, jajan yang pernah dikenal tahun 90-an dan punya nama arbanat, arum gula, rambut nenek itu, cukup asing.
Namun demikian, jajan itu dikenal di beberapa negara, seperti di Perancis. Itu disebut Barbe a papa, yang artinya jenggot papa.
Cuma dari mana asalnya jajan itu, belum ada yang bisa memastikannya.
Masih banyak silang pendapat karena ada yang mengatakan, itu berasal dari Malang. Namun, juga ada yang berpendapat, itu berasal dari Desa Kesambi, Kabupaten Lamongan.
Dari mana asul-usulnya, itu tak terlalu penting. Namun, yang perlu diketahui oleh generasi milenial, di saat jayanya dulu, jajan yang didominasi rasa manis itu dijual, bukan hanya bisa dibeli dengan uang. Namun,juga bisa ditukar dengan barang bekas. Misalnya, botol bekas. Mengapa demikian? Itu karena dulu, masih jarang orang punya uang.
Selain itu, ada yang khas dari si penjualnya. Belum ada penjelasan khusus, namun semua penjual arum manis selalu keliling dengan membawa kotak seng. Memang, itu buat tempat arbanatnya, namun mengapa kotaknya selalu seragam, yakni berwarna hijau.
Ditambah, ada yang khas lainnya. Yakni, semua penjualnya pasti membawa alat musik, yang mirip biola namun bentuknya lebih sederhana. Itu mengeluarkan bunyi yang khas juga, yaknin hanya bisa "ngik ngok". Katanya, sih buat memanciing atau memanggil anak-anak, agar datang dan membelinya.
"Dengan alat ini, si penjual tak perlu berteriak menawarkan atau memanggil anak-anak, yang jadi pangsa pasarnya. Cukup dengan membunyikan alat itu, anak-anak sudah cukup mengenalnya," pungkas Sumadi.