Kisah Getir Kakek Blitar Jualan Arbanat Keliling, Jalan 50 Kilo Tiap Hari, Penghasilan Hanya 35 Ribu
Perjuangan hidup Sumadi kakek berusia 68 tahun asal Desa Kamulan, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar mungkin bisa jadi motivasi buat anak muda saat ini
Penulis: Imam Taufiq | Editor: Sudarma Adi
TRIBUNJATIM.COM, BLITAR - Perjuangan hidup Sumadi, kakek berusia 68 tahun asal Desa Kamulan, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar ini mungkin bisa jadi motivasi buat anak muda di jaman milineal saat ini.
Betapa tidak, meski tiap hari harus berjualan keliling sejauh 50 km, untuk menjajakan arbanat, namun ia tak pernah mengeluh.
Bahkan, tak cuma jalan kaki, ia juga ditemani kotak kotak, yang berisi jajan arum manis dan alat musik yang bunyi cuma satu nada, ngik ngok.
• Hari Terakhir Verifikasi Faktual, 40 Persen Data Dukungan Calon Pilwali Blitar 2020 Tak Bisa Ditemui
• Polisi Tabur Ribuan Benih Ikan, Wujudkan Ketahanan Pangan Kampung Tangguh di Blitar
"Saya ini sudah 46 tahun berjualan keliling seperti ini atau sejak saya berusia 19 tahun, hingga kini sudah punya anak dan cucu," tuturnya, sambil mengusap peluh di keningnya dan bajunya terlihat basah oleh keringatnya.
Katanya, profesi sepertinya itu sudah langka karena jarang yang mau mau mewarisinya. Meski bapaknya dulu misalnya berjualan arbanat keliling, namun anaknya tak akan mau meneruskannya.
Akhirnya, saat ini, tinggal dirinya yang masih survival. "Teman-teman saya dulu (sesama penjual arum manis keliling) sudah banyak yang pensiun. Selain sudah nggak kuat lagi karena sudah tua, juga sudah banyak yang meninggal dunia," tutur kakek dengan empat anak ini.
Kamis (9/7) siang atau sekitar pukul 11.00 WIB, kakek Sumadi terlihat melintas di jalan sepi, yang kiri-kanannya hanya persawahan. Ia berjalan kaki menyusuri perkampungan Desa jajar, Kecamatan Talun. Setelah menempuh perjalanan 7 km, ia beristirahat dan berteduh di bawah pohon besar, yang ada di tepi jalan poros Malang-Blitar tersebut.
"Capek mas, istirahat bentar karena perjalanan masih panjang. Tiap hari saya rata-rata sekitar 50 km atau mininal melewati empat kecamatan (seperti Kecamatan Talun, Wlingi, Doko, dan Gandusari)," ujarnya.
Mungkin orang selain dirinya, papar dia, sudah tak akan sanggup menjalaninya. Bayangkan, setiap hari harus berangkat pagi dan sampai rumah kembali baru malam hari. Kadang begitu, sering tak habis.
Berapa sih pendapatannya? Sambil menghela nafas, ia menuturkan, kalau modal dagangannya cuma gula 3 kg, 1 kg tepung terigu dan 1 kg minyak. Jika itu laku atau habis, ia mengaku hanya dapat untung Rp 35.000.
Pendapatan segitu itu, jelas tak sebandingkan dengan keringat yang dikeluarkan setiap hari dengan berjalan kaki berkilo-kilo.
"Sudah jarang yang mengenalnya, bahkan anak sekarang banyak yang sudah tak tahu apa itu jajan arum manis. Namun, kami nggak ada pilihan pekerjaan lainnya. Sebenarnya, anak-anak sudah melarannya dan disuruh istirahat. Namun, saya masih kuat memberi makan istri dan juga saya merasa tak enak kalau mengandalkan pemberian anaknya," ujarnya yang terihat cukup sehat secara fisik
Menurutnya, ada sisi-sisi menarik selama berjualan keliling itu.
Misalnya, ia seringkali tak tega kalau melihat ada anak kecil menangis karena tak dibelikan orangtuanya. Akhirnya, ia ingat cucunya sehingga memberinya gratis.
Bahkan, kalau hujan lagi seharian dan dirinya sudah terlanjur di tengah jalan, maka terpaksa berteduh di terus rumah orang. Malah, pernah dirinya berteduh di rumah orang kaya, yang ada di Desa Plumbangan, Kecamatan Doko atau berjarak sekitar 16 km dari rumahnya.
"Si pemilik rumah mungkin kasihan melihat saya tak bisa berjualan dan pulang malam hari denggan berjalan kaki. Akhirnya, saya diantarkan dan malah diberi uang (yang katanya lebih dari cukup jika dibandingkan dengan penghasilannya seharian itu)," ungkapnya.
Karena sudah bertahun-tahun berjualan keliling, ia mengaku mengenal dengan baik daerah atau perkampungan yang dilewatinya. Termasuk, penduduknya. Mungkin, dibandingkan dengan pejabat lokal, kakek Sumadi lebih paham lah.
Istilah dia, ada ibu yang akan hamil bahkan lagi hamil pun, dirinya mengaku tahu dan mengenalnya. Termasuk, calon kades yang akan jadi atau tidak, ia bisa menebaknya karena mendengar dari suara warganya.
"Wong, setiap hari kami lewati, ya akhirnya saling kenal dengan baik. Bahkan, meski sering menahan lapar, namun kami nggak pernah sangu makanan dari rumah. Sebab, banyak kenalan yang memberinya," tuturnya.
Bahkan, ada pengalaman yang tak pernah dilupakan. Ia dulu pernah kesasar ke tempat yang sepi atau di perkebunan cengkeh. Itu berada di Desa Nyawangan, Kecamatan Doko.
"Sepi dan tak ada rumah, hanya perkebunan sejauh saya berjalan kaki 7 km. Ya, nggak ada yang beli, wong nggak ada perkampungan. Akhirnya, saya sampai di Desa Resapomboh. Saat itu, cuma dapat uang Rp 35.000 (padahal kalau habis dapat Rp 125 ribu)," ujarnya.
Memang, di telinga orang sekarang, jajan yang pernah dikenal tahun 90-an dan punya nama arbanat, arum gula, rambut nenek itu, cukup asing.
Namun demikian, jajan itu dikenal di beberapa negara, seperti di Perancis. Itu disebut Barbe a papa, yang artinya jenggot papa.
Cuma dari mana asalnya jajan itu, belum ada yang bisa memastikannya.
Masih banyak silang pendapat karena ada yang mengatakan, itu berasal dari Malang. Namun, juga ada yang berpendapat, itu berasal dari Desa Kesambi, Kabupaten Lamongan.
Dari mana asul-usulnya, itu tak terlalu penting. Namun, yang perlu diketahui oleh generasi milenial, di saat jayanya dulu, jajan yang didominasi rasa manis itu dijual, bukan hanya bisa dibeli dengan uang. Namun,juga bisa ditukar dengan barang bekas. Misalnya, botol bekas. Mengapa demikian? Itu karena dulu, masih jarang orang punya uang.
Selain itu, ada yang khas dari si penjualnya. Belum ada penjelasan khusus, namun semua penjual arum manis selalu keliling dengan membawa kotak seng. Memang, itu buat tempat arbanatnya, namun mengapa kotaknya selalu seragam, yakni berwarna hijau.
Ditambah, ada yang khas lainnya. Yakni, semua penjualnya pasti membawa alat musik, yang mirip biola namun bentuknya lebih sederhana. Itu mengeluarkan bunyi yang khas juga, yaknin hanya bisa "ngik ngok". Katanya, sih buat memanciing atau memanggil anak-anak, agar datang dan membelinya.
"Dengan alat ini, si penjual tak perlu berteriak menawarkan atau memanggil anak-anak, yang jadi pangsa pasarnya. Cukup dengan membunyikan alat itu, anak-anak sudah cukup mengenalnya," pungkas Sumadi.