Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Warga Tulungagung Antusias Mengikuti Jamasan Pusaka Tombak Kiai Upas

Iring-iringan penari berjalan dari Dalem Kanjengan, di Jalan Oerip Sumoharjo Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (4/9/2020).

Penulis: David Yohanes | Editor: Yoni Iskandar
david yohanes/surya
Juru jamas membersihkan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas milik Pemkab Tulungagung, Jawa Timur 

TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Iring-iringan penari berjalan dari Dalem Kanjengan, di Jalan Oerip Sumoharjo Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (4/9/2020).

Para penari ini mengawal sembilan putri pembawa air dari sembilan mata air yang berbeda.

Mereka kemudian menuju ke tempat penyimpanan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas, di Kantor Arsip dan Perpuskaan yang ada di sampingnya.

Sumber mata air inilah yang akan dipakai untuk menjamas (mencuci) tombak pusaka milik Pemkab Tulungagung ini.

Sembilan mata air itu berasal dari tirto panguripan dari Goa Tritis Gunung Budheg, air bilik tengah, air bilik buntut, air tempuran (pertemuan sungai), air gothehan (kubangan), air kelapa, air sumur, deresan randu dan deresan pisang.

Satu per satu para puteri menyerahkan air yang dibawanya kepada Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo.

Air kemudian diserahkan ke juru jamas. Sedangkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah segera menuju ruang penyimpanan pusaka.

Tombak di era Kerajaam Mataram ini kemudian dikeluarkan, dan dibawa ke tempat penjamasan.

Selama prosesi jamasan diiringi alunan ayat-ayat suci Al Quran.

Kereta Kencana Antarkan Pasangan Gus Yani-Ning Min (Niat) Daftar ke KPU Gresik

Ahmad Dhani Semprot Sikap Anak Mulan Pada Putra Maia, Safeea Malah Balik Kesal: Lebih Mending Aku

Calon Bupati Kediri Mas Dhito Khawatir Kehadiran Kotak Kosong dalam Pilkada 2020

Meski di tengah pandemi dan penitia melakukan pembatasan, namun tidak bisa membendung antusiasme warga.

Mereka mendatangi lokasi untuk melihat prosesi jamasan.

Selain itu mereka juga ingin ngalap berkah, dengan memakan bubur suro yang dibagikan panitia.

Selain itu ada pula yang sengaja meminta air jamasan yang tersisa, untuk dibawa pulang.

Warga percaya air itu bisa mendatangkan berkah, karena sudah didoakan.

Menurut Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo, jamasan tombak pusaka Kanjeng Kiai Upas dilakukan setiap tahun.

"Jamasan ini dilakukan setiap tanggal 10 Bulan Suro pada penanggalan Jawa," ujar Maryoto kepada TribunJatim.com.

Upacara adat ini sekaligus memperkenalkan ke warga, bahwa Tulungagung punya tombak pusaka yang terjaga hingga sekarang.

Jamasan ini juga sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan yang maha kuasa, karena selama setahun Tulungagung dalam suasana aman.

Usai jamasan dilanjutkan dengan kenduri bersama, memohon keselamatan bagi Tulungagung ke depan.

"Semoga selama setahun mendatang Tulungagung diberikan keamanan dan kenyamanan," ucap Maryoto.

Salah satu warga yang datang, Subagyo mengaku sengaja datang untuk melihat prosesi jamasan.

Menurutnya, prosesi ini sayang untuk dilewatkan karena hanya terjadi sekali setiap tahun.

Apalagi ada keyakinan, sisa air jamasan maupun makanan yang dibagikan memberikan manfaat secara spiritual.

"Tergantung kepercayaan masing-masing. Kalau yakin, maka semua akan memberikan berkah seperti kepercayaannya," ucap Subagyo sambil menunjukkan plastik kecil berisi sisa air jamasan kepada TribunJatim.com.

Sejarah Tombak

Menurut sejarah tutur yang terpelihara selama ini, tombak Kyai Upas dulunya adalah pusaka Ki Ageng Mangir Wanabaya, atau Mangir IV.

Kisah Ki Ageng Mangir pernah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah naskah drama berjudul Mangir.

Ki Ageng Mangir adalah penguasa wilayah perdikan di era Majapahit, yang kemudian masuk ke wilayah Mataram.

Raja Mataram kala itu, Penembahan Senopati berusaha menakhlukan Mangir.

Namun karena kesaktiannya dan berkat pusaka Kyai Upas, Mangir tidak terkalahkan.

Akhirnya raja mengirim anaknya, Retno Pembayun untuk memperdaya Mangir.

Retno Pembayun yang menyamar jadi penari tledek berhasil memikat hati Mangir.

Keduanya kemudian menikah. Seiring perjalanan waktu, Pembayun mengungkap jati dirinya sebagai anak raja.

Ia kemudian mengajak Mangir untuk menghadap ayahandanya, yang juga seorang raja Mataram.

Saat hendak sowan mertua inilah, Mangir harus meninggalkan tombak Kyai Upas.

Sebab tradisi ketika menghadap raja, tidak boleh membawa senjata.

Saat tanpa senjata itulah Mangir dibunuh. Namun sepeninggal Mangir, tombaknya menimbulkan pagebluk (wabah penyakit).

Untuk menghentikan pagebluk, tombak pusaka ini dibawa ke Kadipaten Ngrowo, yang sekarang menjadi Kabupaten Tulungagung.

Tombak pusaka ini terpelihara sampai sekarang. (David Yohanes/Tribunjatim.com)

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved