5 Usulan Geopark Tulungagung Dinilai Bertaraf Internasional, Goa Wajakensis hingga Gunung Budheg
5 dari 10 usulan Geopark Tulungagung dinilai bertaraf internasional oleh ahli. Gunung Api Purba Budheg, Goa Wajakensis hingga Pantai Patahan Sanggar.
Penulis: David Yohanes | Editor: Dwi Prastika
Laporan Wartawan TribunJatim.com, David Yohanes
TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Lima dari 10 usulan Geopark asal Tulungagung dinilai layak diusulkan untuk menjadi Geopark taraf internasional.
Hal ini disampaikan oleh Tim Ahli dari UPN Veteran Yogyakarta, Dr Ir C Prasetyadi, saat seminar nasional Geopark di Tulungagung, Kamis (12/11/2020).
Lima Geopark kelas dunia itu adalah Gunung Api Purba Budheg, Goa Wajakensis tempat penemuan manusia purba Homo Wajakensis, Terowongan Batu Gamping Niyama, Pantai Patahan Sanggar, dan Geomarmer Besuki.
Sedangkan lima usulan lain bisa ditetapkan sebagai Geopark nasional, yaitu Telaga Patahan Buret, Goa Sungai Bawah Tanah Tenggar, Air Terjun Patahan Tretes Pagerwojo, Pantai Laguna Kedungtumpang, dan Tambang Batu Lazuli Watu Ijo Pucanglaban.
“Sepuluh usulan ini saya yakin sudah otomatis akan masuk Geopark nasional. Setelah itu lima di antaranya itu akan kami usulkan di tingkat internasional,” terang Prasetyadi.
Jika harus dibuat peringkat, Prasetyadi menempatkan Goa Wajakensis di tingkat teratas.
Kemudian disusul Geomarmer, Gunung Budheg, Pantai Patahan Sanggar, dan Batu Gamping Niyama.
Baca juga: Satpol PP Tulungagung Akui Pernah Temukan Pengguna Buku Nikah Siri: Tetap Kami Proses
Lima usulan Geopark dunia ini dianggap punya ciri khas yang tidak ditemui di tempat lain.
Keunikan khusus itulah yang menjadikannya layak ditetapkan sebagai Geopark dunia.
Secara umum ada dua tema Geopark yang diusulkan untuk Tulungagung, yaitu Geomarmer dan Home of Wajakman.
Alasannya Geomarmer mengandung pengertian melawan konservasi.
“Tapi bisa juga dibalik, tema Geomarmer ini karena kita ingin melindungi marmer. Eksplorasi besar-besaran itu harus dihentikan,” sambung Prasetyadi.
Baca juga: Lebih dari 7.000 Warga Ponorogo Jadi Prioritas Penerima Vaksin Covid-19, Nakes Paling Banyak
Namun jika mengusung tema Home of Wajakman, Tulungagung terkendala karena fosil Homo Wajakensis tidak ada di Indonesia.
Karena itu jika sudah ditetapkan sebagai Geopark nasional, bisa dipakai dasar memulangkan fosil tersebut.
Prasetyadi yakin, andai fosil itu sudah ada di Tulungagung, otomatis akan berubah menjadi Geopark internasional.
“Paling akhir tahun ini, atau awal tahun depan sudah ada penetapan Geopark nasional,” ujarnya.
Baca juga: Harga Tiket Masuk Pemandian Air Panas Tirta Husada, Tempat Wisata Populer di Ponorogo, Buka 24 Jam
Geomarmer Tulungagung dianggap unik, karena terjadi karena proses pemanasan alam dan dalam jumlah yang sangat besar.
Bahkan sumber panasnya juga diketahui berada di sekitar tempat, yang saat ini dikenal dengan Makam Bedalem.
Sedangkan Goa Wajakensis membentang hingga ke Goa Tenggar, tempat ditemukannya banyak fosil makhluk hidup, seperti kerbau.
Gunung Budheg juga tak kalah menarik, karena gunung api purba yang ada di dekat kota.
Lokasinya bisa dijangkau dengan mudah.
Keunikan ini tidak ditemukan pada gunung api purba yang lain.
Baca juga: Harga Tiket Masuk Pantai Balekambang dan Bedengan Malang, Cocok Banget untuk Piknik bersama Keluarga
“Salah satu syarat Geopark adalah mudah diakses. Percuma kita punya Geopark tapi letaknya jauh, tidak bisa dikunjungi,” ucap Prasetyadi.
Sedangkan Pantai Patahan Sanggar dikelilingi tebing-tebing patahan yang luar biasa.
Karena adanya benteng tebing alam ini, maka tempat ini dijadikan penyu untuk bertelur.
Sementara Terowongan Batu Gamping Niyama dianggap mempunyai keunikan fungsi yang tidak ditemui di kota lain.
Sebelum ada terowongan ini, aliran air di Tulungagung dan dari Trenggalek berkumpul di wilayah selatan sehingga menjadi kawasan rawa.
Baca juga: Setelah Ramai, Pupuk yang Diduga Palsu Menghilang dari Tanggunggunung Tulungagung
Jika tidak ada terowongan ini, maka Tulungagung selatan akan menjadi rawa abadi.
Namun dengan keberadaan terowongan ini, menjadikan kawasan selatan kering dan menjadi layak huni seperti saat ini.
“Niyama adalah bendungan alam yang sangat besar. Jika tidak ada disudet (ke arah laut), maka selamanya Tulungagung menjadi rawa,” pungkas Prasetyadi.
Editor: Dwi Prastika