Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga Berikan Trauma Healing dan Lakukan Operasi di Majene
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) kembali menjalani misi sosialnya membantu korban bencana.
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Yoni Iskandar
Reporter : Sulvi Sofiana | Editor : Yoni Iskandar
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) kembali menjalani misi sosialnya membantu korban bencana.
Sabtu (23/1/2021) lalu, RSTKA akhirnya sampai di Majene, Sulawesi Barat setelah dua belas hari usai gempa berkekuatan 6,2 Magnitudo mengguncang Mamuju dan Majene pada Jumat dini hari (15/1/2021).
Tak hanya bantuan medis yang dilakukan para relawan, namun juga trauma healing pada anak-anak yang menjadi korban gempa.
Direktur RSTKA dr Agus Harianto SpB menyatakan rute arah kapal diubah ke Majene setelah sebelumnya sempat akan berlayar ke Mamuju. Namun, karena di Mamuju fasilitas-fasilitas kesehatan mulai berfungsi dan ditambah dukungan TNI melalui KRI Soeharso, sehingga kapal akhirnya berlabuh di Mejene.
”Rumah sakit regional sudah berfungsi melayani tindakan operasi. Rumah sakit yang lain juga sudah berfungsi. Termasuk dari KRI Soeharso sudah melakukan pelayanan,” ujarnya.
dr Agus menambahkan, Majene merupakan pusat epicentrum gempa Sulawesi Barat. Di sana, pelayanan medis masih sangat minim.
“Kami ingin mendekatkan diri kepada korban yang dekat dengan epicentrum gempa,” ucap Koordinator Lapangan RSTKA itu.
Pelayanan medis semacam rumah sakit yang dekat di Majene saat ini, sebut dr Agus, hanya RSTKA. Lokasi Rumah sakit Majene dari pusat gempa cukup jauh.
Baca juga: Fenomena Jasad Capt Afwan Teridentifikasi Terakhir: Pilot Baru Turun Setelah Semua Keluar, Panen Doa
Baca juga: Warga Surabaya Ramai-Ramai Desak Hapus Retribusi Surat Ijo
Baca juga: Ketika Gus Baha Ditemui Habib Sholeh Tanggul Jember, Rombongan Hanya Bisa Berdiam
Dibutuhkan waktu 50 menit dari RSTKA ke Rumah Sakit Majene. Lalu dari RSTKA ke Malunda, dibutuhkan waktu 50 menit pula.
“Posisi kami berada di tengah-tengah Kecamatan Malunda dan Rumah Sakit Majene,” katanya.
Diketahui, RSTKA merupakan kapal pinisi 114 GT (Gross tonnage) dengan peralatan medis dan obat-obatan.
Sebagaimana rumah sakit, di dalam kapal juga terdapat ruang operasi dan layanan medis lainnya. Terhitung sejak Senin (25/1/2021), RSTKA memberikan pelayanan kepada 35 pasien dan melakukan 7 tindakan operasi dengan dibantu oleh dokter ortopedi dan dokter bedah umum.
“Kami masih akan meng-update terkait jumlah penanganan pasien,” tutur dr Agus kepada TribunJatim.com.
Saat ini RSTKA lebih banyak turun kepada masyarakat untuk mencari kasus trauma yang belum terlayani. Ada berbagai macam alasan.
“Kami akan coba persuasif kepada korban untuk mau menjalani tindakan operasi. Itu fokus kita,” ungkap dr Agus.
Bukan hanya pelayanan medis di kapal, relawan RSTKA melakukan kegiatan ekstrahospital (di luar penanganan medis).
Yakni, mendirikan dapur pengungsi yang bisa menghasilkan 600–700 nasi bungkus dan menyediakan air bersih.
Termasuk mengunjungi dan menghibur masyarakat dalam rangka trauma healing.
Untuk memastikan keadaan psikis anak-anak di pengungsian, tim relawan Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) mengadakan trauma healing yang dilakukan sejak Senin (25/01/21) di Desa Salutambung.
Teguh Wahyu Utomo, salah satu relawan menuturkan bahwa kegiatan trauma healing dilakukan di pengungsian Desa Salutambung, Kecamatan Malunda.
Kegiatan dilakukan di sana berdasarkan rekomendasi dari Puskesmas Salutambung karena terdapat 60 Kartu Keluarga (KK) yang tidak mau turun dari bukit.
Kegiatan trauma healing yang dilakukan di dalam tenda 5 x 5 meter milik RS Pratama itu diawali dengan memberikan ice breaking kepada sebanyak 23 anak.
“Setelah ice breaking, Afin melakukan sugesti bareng dengan cara anak-anak menepuk pundak temannya di sebelah kanan sambal mengucapkan kata-kata penguat. Antara lain, ‘Hai, kawan. Kita harus bersabar, bersyukur, dan bergembira,” tutur lulusan Hubungan Internasional Unair tersebut.
Setelah memberikan sugesti, Teguh mulai melakukan asesmen awal tentang trauma untuk mengetahui apakah anak-anak memang trauma sehingga perlu tindakan lebih lanjut atau sekadar kaget atau takut sesaat yang tak lama kemudian bakal lewat dan terlupakan.
Dalam menilai kondisi anak-anak, trainer motivasional di MEP Training Center tersebut meminta anak-anak untuk menulis. Namun, karena banyak yang balita pada akhirnya menggambar saja.
Anak-anak diperintahkan untuk menggambar apa yang akan dilakukan setelah dibolehkan pulang.
“Jika tidak mau menggambar, padahal bisa menggambar, kemungkinan besar ia takut pulang atau trauma gempa. Jika mau menggambar, saya lihat hasilnya dan saya tanyai mengapa menggambar itu. Jika yang digambar hal-hal tak wajar, maka saya follow-up dengan pertanyaan untuk menilai kondisi mentalnya bagaimana,” ujarnya.
Hasilnya, sambungnya, semua mau menggambar dan yang digambarkan adalah hal-hal yang normal.
Misalnya, menggambar anak bermain di rumah, buah jeruk, sepeda, dan lain-lain.
Saat dilakukan follow-up, umumnya anak-anak ingin kembali bermain di rumah dan tidak takut kembali ke rumah.
Selain dilakukan bersama anak-anak, kegiatan trauma healing tersebut juga dilakukan bersama orang tua mereka.
"Hanya saja, untuk orang tua dilakukan asesmen dengan cara menyapa, bertanya keadaan, sambil melihat ekspresi wajah dan tingkah laku. Asesmen dilakukan dari tenda ke tenda, tapi tidak semuanya, hanya diambil sampling hanya ke keluarga yang diduga tak mau turun bukit," paparnya kepada TribunJatim.com.
Dengan adanya kegiatan tersebut, Teguh berharap anak-anak tetap bergembira dan bersemangat tinggi saat sudah kembali ke rumah masing-masing.
Dengan suasana hati seperti itu, mereka akan lebih bebas dari stres atau tekanan mental karena bencana gempa.
“Kami berharap pihak berwenang mencabut kondisi darurat sesuai dengan keadaan yang semestinya. Jika kondisi darurat dicabut, anak-anak bisa kembali hidup dalam kondisi normal di rumah masing-masing. Lebih senang lagi jika rumah mereka masing-masing sudah diperbaiki,” pungkasnya kepada TribunJatim.com.