Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Cerita Meranggi Keris di Ponorogo, Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi

Semakin pudarnya tradisi dan budaya di masyarakat Jawa membuat Gondo Puspito Hadi (40), seorang Meranggi atau pembuat warangka keris merasa perihatin

Penulis: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Januar
TribunJatim.com/ Sofyan Arif Candra
Meranggi keris di Ponorogo 

Reporter: Sofyan Arif Candra Sakti | Editor: Januar AS

TRIBUNJATIM.COM, PONOROGO - Semakin pudarnya tradisi dan budaya di masyarakat Jawa membuat Gondo Puspito Hadi (40), seorang Meranggi atau pembuat warangka keris merasa perihatin.

Padahal menurutnya, dalam tradisi dan budaya Jawa terdapat nilai-nilai adiluhung yang bisa menjadi pegangan hidup di era modernisasi ini.

Semangatnya untuk melestarikan budaya Jawa terutama budaya Ponorogo membuat dirinya setia untuk menekuni dunia perkerisan mulai puluhan tahun yang lalu.

"Di tengah derasnya arus globalisasi, kalau bukan kita sendiri, lalu siapa lagi," kata Gondo, Rabu (3/2/2021).

Tipu Lelaki Lewat Michat, Wanita Asal Pacar Keling Surabaya Embat Ponsel Kenalannya

Gondo menjelaskan, membuat warangka keris bukan hal yang mudah, membutuhkan ketelatenan dan ketelitian yang tinggi.

Karena keris dianggap konsumennya bukan hanya untuk hiasan tapi juga mempunyai nilai kesakralan tersendiri dan bahkan ada yang digunakan untuk pusaka keluaga yang akan diwariskan ke anak cucunya.

"Selain itu di setiap bagian warangka keris mempunyai filosofi tersendiri sehingga harus detail," ucap alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini.

Untuk memulai pekerjaannya, Gondo juga menghindari hari-hari tertentu.

Ini dipercaya akan mempengaruhi tingkat keawetan fisik, bau harum, dan kualitas warangka karyanya.

"Warangka keris ini memang mempunyai bau harum yang didapat dari bahan kayunya," jelasnya.

Biasanya bahan baku dari warangka merupakan kayu Cendana, Kayu Timoho, atau Kayu Trembalo yang memang balok kayunya mempunyai aroma khas tersendiri.

Namun yang paling harum, biasanya menggunakan kayu Cendana.

"Untuk pengerjaan satu warangka keris, rata-rata memakan waktu hingga 14 hari mulai dari bacok awal (kayu), hingga finishing," lanjutnya.

Sedangkan untuk harganya bervariasi tergantung "sandhangan" atau aksesoris yang dipakai dalam warangka tersebut.

Apakah menggunakan emas, berlian, intan, kuningan, atau tembaga.

"Rata-rata yang pernah saya garap sekitar Rp 1,5 juta. Paling mahal hingga Rp 27 juta karena 'sandhangan'nya menggunakan berlian," lanjutnya.

Di Bumi Reog sendiri, eksistensi keris masih terjaga. Menurut Warga Kelurahan Paju, Kecamatan Ponorogo ini, 70 persen orang Ponorogo mempunyai keris.

"Ini karena secara umum pusaka dianggap sesuatu benda yang 'singid', sakral, dan dianggap lebih," jelas Gondo.

"Selain itu, Ponorogo mempunyai historis yang kuat tentang pusaka karena dulunya Ponorogo merupakan pusat kerajaan Wengker," lanjutnya

Lebih dari itu, kepercayaan orang Ponorogo bahwa pusaka sebagai pendamping dalam konteks mistis keselamatan juga masih kental.

"Pada tahun 2010 dan puncaknya tahun 2016, euforia tosan aji terutama keris ini semakin kuat karena kita memiliki wahana untuk berpameran setiap bulan Sura di Pendopo Kabupaten Ponorogo," ucap Gondo.

Gondo menilai pusaka keris merupakan warisan turun temurun nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya.

Untuk itu, ia mempunyai harapan kepada generasi muda agar tidak melupakan budayanya sendiri.

"Dengan budaya kita bisa menjadi bijak menyikapi globalisasi di era milenial ini," pungkasnya.

Sumber: Tribun Jatim
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved