Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Ngaji Gus Baha

Gus Baha' Dan KH Said Aqil Satu Nasab Dengan Waliyulloh 'KH Sholeh Darat'

KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha' yang lahir di Sarang 15 Maret 1970 , Rembang, Jawa Tengah ini adalah salah satu ulama

Penulis: Yoni Iskandar | Editor: Yoni Iskandar
istimewa
Gus Baha' dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj 

Penulis : Yoni Iskandar | Editor : Yoni Iskandar

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha' yang lahir di Sarang 15 Maret 1970 , Rembang, Jawa Tengah ini adalah salah satu ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang pengajiannya sering viral dan menjadi trending di Youtube.

Gus Baha' ternayata buyutnyaatau leluhurnya bukan orang biasa. Gus Baha adaah putra Kiai Nur Salim, pengasuh pesantren Alquran di Kragan, Narukan, Rembang .

Kiai Nur Salim adalah murid dari Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam, Kajen, Pati. Nasabnya bersambung kepada para ulama besar.

Bersama Kiai Nur Salim inilah, Gus Miek (KH Hamim Jazuli) memulai gerakan Jantiko (Jamaah Anti Koler) yang menyelenggarakan semaan Al-Qur’an secara keliling.

Hal bisa dibuktikan pertemuan antara Ketua Umum PBNU KH Said Aqiel Siradj degan Gus Baha'.

Momen yang langka dan memang berlangsung singkat, sekitar 20 menitan saja sebelum Kiai Said melanjutkan bertemu dengan para santri di aula dalam pondok (30an menit berlangsung).

Suasana akrab dan gayeng tercipta antar kedua kiai dzurriyah Pendiri Damaran 78 tersebut. Gus Baha' sudah menyiapkan dua lembar silsilah untuk Kiai Said. Silsilah Damaran bersumber dari KH. Minan Zuhri Kudus, dan satunya lagi bersumber dari silsilah Mbah Mutamakkin, Kajen, Pati.

Dari dua seumber silsilah yang tersiap itu, Gus Baha' menjelaskan secara terang posisi Kiai Said di urutan silsilah keluarga Damaran Kudus, yang secara berurutan, Gus Baha' posisinya sebagai cucu.

"Saya dimana ini?," tanya Kiai Said ke Gus Baha'.

"Jenengan ada di urutan ke sembilan dari Mbah Mutamakkin Kajen".

"Jadi jenengan panggil apa ke saya?"

"Ya Mbah lah, karena saya cucu".

Kiai Said kemudian mengurutkan silsilahnya, disaksikan Gus Baha'. Begini:

1. Said
2. Aqiel
3. Fathimah
4. Fadhilah
5. Sholeh (Damaran, Guru KH. Sholeh Darat Semarang)

Jadi sudaha jelas, kalau Gus Baha' leluhuirnya bukan orang sembarangan dan pengarang puluhan kitab. Tidak heran ilmu leluhurnya itu menurun ke Gus Baha'.

Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar as Samarani atau yang sering dikenal dengan nama KH Sholeh Darat ini lahir pada tahun 1820 di Desa Kedung Cumpleng, Jepara.

KH Sholeh Darat merupakan guru dari sederet tokoh terkenal di masa perjuangan, diantaranya, pendiri Nahdatul Ulama, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dan Raden Ajeng Kartini.

Ayahnya Kyai Umar, merupakan tokoh ulama terpandang yang disegani khususnya oleh masyarakat utara Jawa. Selain itu, beliau adalah orang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang menjadi pejuang pada Perang Jawa (1852-1830).

Nama ‘Darat’ diambil dari nama wilayah dimana KH Sholeh Darat tinggal.

Darat yaitu suatu kawasan dekat pantai utara kota semarang tempat mendaratnya orang-orang yang datang dari luar Jawa.

kisah Imam Ghozali Bertamu ke rumah Mbah Soleh Darat

Semua kitab karya Mbah Soleh Darat berisi ajaran tasowwuf.

Meski membahas fikih, isinya pun banyak ajaran tasowwuf. Kitab kecil bab shalat dan wudhu, Lathaifut Thaharah wa Asrarus Solat, juga berisi ajaran tentang tasowwuf. Juga kitab Majmu’ Syariat maupun Pasolatan, ada tasawuf di dalamnya.

Terlebih dalam kitab yang memang membahas tentang tasawuf, seperti Munjiyat, Minhajul Atqiya fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’, Tarjamah Al-Hikam, dan Syarah al-Burdah.

Gus Baha : Para Kiai-kiai Top Masih Direpotkan Dengan Hukum Rokok

Terkuak Kondisi Terbaru Ayu Ting Ting Paska Batal Nikahi Adit Jayusman, Igun Tak Terkejut: Biasa

Masakan Teras Muzda sempat Dikritik Kurang, Bagaimana Nasib Restoran Muzdalifah Rp32 M Kini?

Mbah Soleh sering menukil pendapat dari Imam al-Ghozali dalam karya-karyanya, amat kagum dan hormat kepada Hujjatul Islam tersebut.

Setiap selesai mulang ngaji, Mbah Soleh menulis, dengan pena tutul dan tinta China yang selalu dicampuri minyak wangi oleh beliau.

Diterangi oleh temaramnya lampu teplok, di atas lembar demi lembar ia tuliskan gagasan, ide-ide dan ulasan-ulasannya.

Suatu malam, Mbah Soleh kedatangan seorang tamu yang memakai pakaian khas Arab, berjubah dan memakai surban di kepalanya.

Mbah Soleh sedang berada di ruangannya, menulis kitab Munjiyat : Methik Saking Ihya Ulumiddin. Oleh para santri, tamu tersebut disuguhi wedang, sebelum diantarkan menemui Mbah Soleh.

Para santri kembali ke langgar, nderes pelajaran-pelajaran, dari ruangan di sebelahnya yang dipisahkan oleh dinding kayu, didengar oleh mereka sayup-sayup perbincangan antara Mbah Soleh dengan tamu tadi dalam Bahasa Arab.

Ketika malam telah semakin larut, sang tamu berpamitan, Mbah Soleh mengantarkannya sampai serambi rumahnya. Usai melambai di halaman langgar, tamu itu melangkah ke arah jalan besar.

Dalam sekejap, ia telah menghilang dalam gelap malam.

“Niku wau sinten, kiai? (Itu tadi siapa, kiai?), kadose dereng nate tindak mriki? rasanya belum pernah datang ke sini?” tanya seorang santri senior, yang menyuguhi wedang tadi.

“Oh, iku mau Imam al-Ghozali (Itu tadi Imam al-Ghozali), beliau merestui kitab yang kutulis,” jawab Mbah Sholeh kalem.

“Subhanolloh, masyaAlloh. Bukankah Imam al-Ghozali sudah wafat ratusan tahun lalu, kiai?” ujar mereka takjub sambil bertanya-tanya.

“Ya itulah karomah beliau. Mari kita berdo’a tawassul kepada Imam Al-Ghozali agar ilmu kita diberkahi,” pungkas Mbah Sholeh seraya menyuruh santrinya kembali ke langgar.

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved